Menjadi Guru Professional; Mungkinkah?

Menjadi Guru Professional; Mungkinkah?

News / Opini Menjadi Guru Profesional, Mungkinkah?
Oleh Afrianto Daud 
13-Maret-2006

Membaca judul tulisan diatas, sepintas barangkali kita akan menjawab kenapa tidak mungkin. Tak ada yang mustahil di dunia ini, termasuk untuk bisa menjadi guru yang profesional.

Bahkan mungkin ada diantara kita yang berfikir kalau pertanyaan diatas sedikit silly, pertanyaan yang sesungguhnya tak perlu disampaikan. Namun kalau kita mau jujur, menjawab pertanyaan di atas dalam konteks dunia pendidikan nasional kita, maka minimal kita tidak berani untuk segera menjawab pertanyaan itu secara sederhana dengan jawaban why not?

Ketidakberanian kita barangkali disebabkan karena begitu kompleksnya permasalahan guru di tanah air tercinta ini. Telah ada begitu banyak diskusi, seminar, lokakarya, dan pertemuan ilmiah lainnya yang membicarakan betapa rumitnya permasalahan guru di negri ribuan pulau ini. Guru kita sering berada pada posisi yang sangat dilematis karena pada satu sisi menjadi tumpuan harapan keberlangsungan masa depan anak bangsa ini dalam bidang pendidikan di masa yang akan datang, namun pada saat yang sama guru sulit keluar dari permasalahan klasik yang melilit mereka, seperti kesejahteraan, penghargaan, dan isu tentang profesionalisme.

Menurut saya, masalah profesionalisme guru adalah isu yang paling serius diantara permasalahan lain yang dihadapi guru kita. Pembicaraan mengenai problematika guru sering sampai pada kesimpulan bahwa sampai hari ini sepertinya guru belum percaya diri menyebut profesi mereka sebagai sebuah profesi yang sejajar dengan profesi lainnya, seperti dokter, pengacara, hakim, atau psikolog. Dengan kata lain, guru seperti tak bisa menyebut diri mereka sebagai seorang profesional yang sejajar dengan para profesional di bidang yang lain.

 Hal ini disebabkan karena mereka sadar bahwa suatu jenis pekerjaan yang disebut profesi idelnya memiliki kedudukan lebih dibanding dengan pekerjaan lain yang tidak dianggap sebagai profesi. Kedudukan lebih itu bisa berupa materiil maupun sprirituil. Disamping itu, untuk menjadi profesional harus memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Seorang profesional menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih dibanding pekerja lainnya.

Maka untuk menjadi profesional, seseorang harus memenuhi kualifikasi minimun, sertifikasi, serta memiliki etika profesi (Nurkholis, 2004). Kalau kita bandingkan dengan profesi guru dengan profesi terhormat lainnya, seperti dokter, pengacara, dan akuntan, maka kita akan melihat betapa besarnya perbedaan profesi guru dengan profesi lainnya itu.

Lazim diketahui bahwa untuk menjadi seorang dokter, pengacara, dan akuntan, misalnya, membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang lama. Mereka harus mengikuti berbagai jenis jenjang pendidikan formal, praktek lapangan, atau magang dalam waktu tertentu di bidangnya masing-masing. Bahkan, di negara-negara maju, seperti Jerman dan Amerika, konon untuk mendapatkan status guru seseorang harus magang di lembaga pendidikan minimal dua tahun. Hal ini dilakukan sebagai salah satu jaminan bahwa yang bersangkutan profesional dalam menjalankan tugasnya.

 Bagaimana untuk menjadi seorang guru di negeri ini? Di Indonesia, setelah lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan bekerja di lembaga pendidikan, maka seseorang langsung disebut guru. Bahkan, banyak pula lulusan non-LPTK, namun bekerja di lembaga pendidikan, juga disebut guru. Untuk disebut sebagai guru sangatlah mudah, sehingga profesi ini sering dijadikan pelarian oleh banyak sarjana kita setelah gagal memeperoleh pekerjaan lain yang mereka anggap lebih baik. Kemudian, untuk mendapatkan izin kerja, pada ketiga profesi yang disebut di atas, harus memiliki izin praktik dari lembaga terkait atau sertifikat dari lembaga profesi.

Izin atau sertifikat itu diperoleh melalui serangkaian tes kompetensi yang terkait dengan profesi maupun sikap dan perilaku. Organisasi profesi memiliki kontrol yang ketat terhadap anggotanya, bahkan berani memberikan sanksi jika terjadi penyalahgunaan izin. Tetapi di negeri ini, izin kerja sebagai guru, berupa akta mengajar, diperoleh secara otomatis begitu seseorang lulus dari LPTK.

Apalalagi kalau kita membandingkannya dari sisi kesejahteraan, maka perbedaannya akan semakin kentara. Tiga profesi yang dijadikan model perbandingan di atas memiliki standar gaji dan renomerasi yang jelas. Sebagai seorang profesional, mereka mampu menghargai diri sendiri, mereka juga mampu menjaga etika profesi dengan baik.

Namun banyak guru di pelosok negeri ini yang bergaji Rp60 ribu per bulan. Banyak guru yang gajinya di bawah buruh pabrik. Gaji guru tidak mengikuti standar UMK, karena kebanyakan dibayar berdasarkan jumlah jam mengajar, dan kebanyakan guru tidak memiliki serikat pekerja, sehingga tidak bisa menuntut hak-haknya. Akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup harus membanting tulang di luar profesi keguruan, seperti mengojek atau berjualan. Padahal mereka dituntut untuk mencerdaskan anak bangsa, sebuah tuntutan yang amat berat. Jika kualitas pendidikan di negeri ini rendah, pantaskah kita menyalahkan, gurunya tidak profesional?

Harapan Di Balik UU Nomor 14/2005

Tumpukan permasalahan guru memang kadang membuat dada kita sesak, sampai kemudian pemerintah bersama DPR mengesahkan UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen tanggal 30 Desember 2005, harapan barupun kemudian muncul. Banyak pihak berharap bahwa Undang Undang ini bisa menjadi tonggak bersejarah untuk bangkitnya profesi ini menjadi profesi mulia yang betul-betul setara dengan profesi lainnya. Sebuah profesi yang tak hanya dihargai dengan ungkapan pahlawan tanpa tanda jasa, tapi sebuah profesi yang betul-betul diakui sejajar dengan profesi lainnya. Undang-Undang Guru dan Dosen lahir melengkapi dan menguatkan semangat perbaikan mutu pendidikan nasional yang sebelumnya juga sudah tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Kita berharap, kedua undang-undang ini mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya para guru yang betul-betul profesional dalam makna yang sesungguhnya. Lebih jauh kita berharap, kedua undang-undang ini akan membuka jalan terang bagi segenap anak bangsa ini untuk secara perlahan tapi pasti keluar dari berbagai krisis yang melilit bangsa ini melalui perbaikan mutu pendidikan nasional dengan membentuk guru yang profesional sebagai entry point.

Sekalipun masih ada perdebatan tentang siapa yang paling berhak menyelenggarakan program sertifikasi dan yang melakukan uji komptensi guru, namun terlepas dari siapa yang menyelenggarakan, program sertifikasi dan uji kompetensi jelas akan berdampak positif bagi proses terbentuknya guru yang profesional di masa datang.

Selain karena dengan program sertifikasi dan uji kompetensi akan ada proses terukur bagi seseorang layak disebut sebagai guru, juga karena program ini bisa menjawab permasalahan klasik guru menyangkut kesejahteraan karena pasal 16 ayat (1) dan (2) UU 14/2005 menyebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik akan memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok dan diberikan oleh pemerintah kepada guru sekolah negeri maupun swasta.

Apalagi kalau pemeritah berkomitmen menjalankan amanat undang undang yang menegaskan bahwa pemerintah harus mengalokasikan 20 persen anggaran negara ke sektor pendidikan, dampaknya akan diyakini begitu luar biasa kepada kualitas dunia pendidikan kita secara umum, dan terbentuknya guru yang profesional secara khusus.

Dengan lahirnya guru yang profesional dalam makna yang sesungguhnya, maka diyakini masyarkat tidak akan lagi melihat sebelah mata kepada profesi ini. Efek dominonya adalah akan banyak para siswa pintar kita kembali secara sadar memilih profesi ini sebagai alaternatif karir mereka di masa datang. Jadi, menjadi guru profesional di negeri ini memang bukan tidak mungkin, tapi sepertinya butuh waktu lama dan komitmen yang kuat dari berbagai pihak.

Wallahu'alam

* Afrianto Daud, Mahasiswa Program Master of Education Monash University Australia

Ikhlassunniat Dalam Beribadah



Terlebih dahulu saya ingin mengajak diri saya sendiri dan hadirin sekalian untuk kembali merenungkan dan bertanya bagaimana kondisi benih iman yang insyaallah sudah ada dalam dada kita. Kalau kita temukan iman kita dalam keadaan keadaan lemah, maka mari kembali kita sirami dan kita kuatkan benih iman itu dengan cara meperbanyak taqarrub kita kepada Allah SWT dan senantiasa bertobat atas dosa dan kesalahan yang kita perbuat. Satu hal yang kita yakini adalah bahwa hanya dengan modal iman itulah kita bisa selamat dalam arti yang sesungguhnya, baik dalam hidup kita di dunia maupun di akhirat kelak.

Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,

Pada jumat kali ini saya ingin kembali mengingatkan kita tentang satu hal yang sepintas barangkali terdengar sederhana di telinga kita tapi memiliki peran sangat mendasar dalam prosesi ibadah kita kepada Allah SWT, yaitu terkait dengan Ikhlusunniat Dalam Beribadah[1]. Sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW memperingatkan ummatnya, Tajdidu niyatakum, “Perbaharuilah niatmu!” Maka pemilihan topik ini dalam khutbah kali ini adalah bagian dari usaha kita untuk selalu memperbaharui niat kita dalam beribadah kepada Allah SWT.

Saya berkeyakinan bahwa hampir semua kita mengetahui bahwa niat yang ikhlas merupakan syarat utama diterimanya setiap ibadah kita kepada Allah SWT, disamping sayarat lain yaitu bahwa kita beribadah sesuai dengan ajaran dan tuntunan Allah dan Rasulnya.

Dengan demikian, sesungguhnya kita sangat paham bahwa betapapun banyak dan besarnya amalan yang kita lakukan secara kuantitas, betapapun di mata manusia kita terlihat seperti orang yang sangat shalih, namun semuanya tidak akan berarti apa-apa dimata Allah SWT kalau kita tidak melakukannya dengan ikhlas kepada Allah SWT.

Dengan kata lain, saudaraku, betapapun kita telah melakukan sesuatu hingga bersimbah peluh, berkuah keringat, habis tenaga dan terkuras pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya di hadapan Allah.

Bertempur melawan musuh, tapi kalau hanya ingin disebut sebagai pahlawan, ia tidak memiliki nilai apapun. Menafkahkan seluruh harta kalau hanya ingin disebut sebagai dermawan, ia pun tidak akan memiliki nilai apapun. Mengajarkan ilmu, tapi kalau hanya ingin disebut orang pintar, juga tak ada nilai. Bahkan ke masjid setiap haripun, tapi bukan Allah yang dituju, hanya ingin disebut orang yang shaleh oleh manusia, maka itu semua tidak bernilai di hadapan Allah. Tidak bernilai!

Ayat-ayat Allah dalam Alquran dan hadist Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita dalam beribadah kepada Allah SWT. Dalam surat Al-Muluk ayat 2, misalnya, Allah SWT menegaskan bahwa Allah SWT tidak melihat kuantitas amal kita, tapi yang Allah justru lihat adalah bagaimana kualitas amal tersbut. Sebagaiamana Allah SWT berfirman;

Allazi khalakal mauta wal hayata Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala

“Yang akan menguji kamu, siapa yang paling baik amalannya”

Allah bukan berfirman,

allazi khalakal mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum aksaru ‘amala

Syeikh Al Fudhail bin Iyadh dalam tafsirnya menjelaskan makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).

Dalam ayat lain Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,

Wama umiru illa liya'budullaha mukhlisiinalahuddiin hunafaa wa yukiimussalata wa yuktuzzakata wa zaalika diinulqaiimah (Al-Bayyinah:5)

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).

Saudara-saudara kaum muslim,

Apa itu ikhlas? Ada banyak defenisi dengan berbagai redaksi yang diberikan para ulama tentang makna ikhlas. Tapi esensinya tetap sama. Imam Qusyaery misalnya dalam kitabnya Risalatul Qusyairiyaah menyebutkan bahwa ikhlas berarti bermaksud menjadikan Allah sebagi satu-satunya sesembahan. Keikhlasan berarti menyucikan amal-amal perbuatan dari campur tangan sesama makhluk.

Secara umum bisa kita defenisikan bahwa Ikhlas ialah melakukan amalan semata-mata mencari keredhaan Allah swt, tanpa dicampuri dengan tujuan dunia. Dengan demikian, secara sederhana bisa dipahamai bahwa tidak ikhlas berarti melakukan amalan bukan kerena Allah.”

Bagaimana kita bisa mengukur tingkat keikhlasan kita beramal kepada Allah SWT?
Syeikh Yusuf Qardhawi[2] dalam bukunya Niat dan Ikhlas menjelaskan beberapa indikator orang yang ikhlas dalam beramal:

1. Orang yang ikhlas takut kemasyhuran dan sanjungan yang boleh membawa fitnah kepada diri dan agamanya. Inilah yang menjadikan ramai di kalangan ulama’ salafussoleh takut kalau hati-hati mereka ditimpa fitnah kemasyhuran, kemegahan dan sanjungan. 2. Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri. 3. Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian.Pujian hanyalah sangkaan orang kepada kita, padahal kita sendiri yang tahu keadaan kita yang sebenarnya. Pujian adalah ujian Allah, hampir tidak pernah ada pujian yang sama persis dengan kondisi dan keadaan diri kita yang sebenarnya. 4. Tidak diperbudak imbalan dan balas budi5. Tidak mudah kecewa. Seorang hamba Allah yang ikhlas yakin benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik lalu terjadi atau tidak yang dia niatkan semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah SWT. Misal ketika kita menjenguk teman sakit di RS luar kota, ternyata ketika kita sampai yang bersangkutan telah sembuh dan pulang. Tentu sjaa kita tidak harus kecewa karena niat dan perjalan termasuk ongkos dan keletihannya sudah mutlak tercatat dan tidak akan disia-siakan Allah. 6. Tidak membedakan amal yang besar dan amal yang kecil 7. Beramal dengan kualitas sama ketika bersama atau sendirian

Saudaraku kaum muslimin,

Saya yakin hampir semua kita paham dengan makna ikhlas ini. Masalahnya adalah barangkali belum semua kita yang mampu menjaga kesempurnaan keikhlasan kita dalam beribdah kepada Allah SWT. Pertanyaan penting berikutnya adalah bagaimana agar kita senatiasa ikhlas dalam beribadah?
Saudaraku, Ikhlas sesungguhnya adalah buah dari tauhid yang benar. Ikhlas hanyalah konsekuensi logis tak kala kita sudah mampu memahami esensi perjanjian dan sumpah kita kepada Allah SWT tak kala kita mengucapkan syahadatain, Asyhadualla ilaha illallah, wa asyhaduanna muhammadar rasulullah.

Syahadatain itu sesungguhnya akad jual beli kita dengan Allah SWT. Ketika kita secara sadar mengucapakan dua kalimat syahadat, maka sesungguhnya kita telah berjanji, berikrar, dan bersumpah dihadapan Allah bahwa tidak ada ilah selain Allah, Muhammad adalah rasul Allah.

Syakhul Islam Ibnu Taimiah mengartikan ilah dengan kecendrungan, maka orang yang sudah bersyahadat seharusnya dia memposisikan kecendrungannya kepada Allah di atas segala kecendrungan manusia kepada yang lain, seperti kecendrungan terhadap jabatan, kepemilikan harta, wanita, atau pujian dari manusia.

Ketika kita sudah mampu menempatkan Allah di atas segalanya, maka pada saat itulah kita betul-betul akan menjadikan Allah sebagai tujuan kita. Berikutnya insyaallah kita akan mampu benar-benar ikhlas dalam setiap amalan kita. Sebagaimana pernyataan yang kita sebut di hadapan Allah SWT minimal 5 kali sehari semalam ketika dalam shalat kita, kita membaca:

Inna shalati wanusuki wa mahyaya wamamati lillahi rabbil 'alamiin

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah SWT”

Saudaraku, terdapat makna yang sangat dalam pada ungkapan ini. Ungkapan yang saya sebut sebagai jual beli kehidupan kita dengan Allah SWT. Sebuah pernyataan sadar kita di hadapan Allah SWT yang kalau kita renungkan kedalaman maknanya, insyallah yang akan membawa kita ke pintu gerbang ikhlas dalam semua amalan kita.

Sampai disini, kita bisa memahami doa sufiah Rabiah Aladawiah yang terkenal itu, Dimana Rabi'ah Adawiyah berkata dalam do'anya: "Ya Allah andaikan aku beibadah karena aku mendambakan syurga, maka janganlah aku dimasukan kedalamnya; dan andaikan aku beribadah pada-Mu karena aku takut kapada api neraka maka masukanlah aku kedalamnya. Aku beribadah adalah karena hanya Engkaulah yang pantas untuk disembah (dita'ati); Ibadah karana syurga adalah seperti ibadahnya pegawai yang mengharapkan gajih dikhir bulan. Ibadah karena takut neraka adalah seperti ibadahnya hambay sahaya."
Saudaraku kaum muslimin,

Meskipun demikian, perlu saya sampaikan bahwa ikhlas bukan berarti kita tidak boleh memiliki kecendrungan kepada selain Allah, sekali lagi bukan tidak boleh, tapi jangan sampai kecendrungan kita kepada selain Allah itu mengalahkan kecintaan kita kepada Allah SWT. Dalam konteks ini, menarik bahasa yang digunakan KH. Irsyad Safar, kerja seorang muslim dalam hidup ini adalah menguasai dunia, tapi tujuan kerja itu adalah Allah SWT.

Kemudian, saya juga ingin katakan bahwa pada tataran ideal, ikhlas mungkin bisa bersanding dengan rasa suka, menerima, rela, dan tulus dengan Allah SWT dalam beramal. Namun, pada tataran praktis ikhlas tidak harus selalu equivalent dengan kerelaan dan ketulusan, sebagaimana rela dan tulus juga tidak selalu berarti ikhlas. Adakalanya mungkin kita merasa berat menjalankan perintah Allah SWT. Bangun di tengah malam yang dingin untuk qiyamullail, terus terang cukup berat untuk dilaksankan, tapi ketika kita paksakan diri kita untuk bangkit dari tempat tidur, kita ambil wudhu demi menghadap Allah SWT, insyallah keterpaksaan karena Allah SWT itu tetap dinilai sebagai bentuk keikhlasan kita dalam beramal.

Terakhir saya ingin mengajak kita semua terutama saya sendiri untuk mengintrospkesi bagaiamana kualitas keikhlasan amal kita kepada Allah SWT. Hendaklah kita selalu khawatir tentang tidak diterimanya amalan kita karena ada noda riya, ujub, sum’ah di dalamnya. Semoga kita semua temasuk hambaNya yang mukhlisin. Semoga Allah tetap menjaga hati kita dalam beribdah kepadanya. Semoga Allah kumpulkan kita semua di sorganya kelak bersama para mukhlisin yang lain. Amin ya rabbal ‘alamin.


[1] Khutbah ini disampaikan penulis di hadapan masyarakat muslim Indonesia Victoria Australia, Masjid Westall, Jumat, 24 Maret 2006
[2] Yusuf Qardhawi adalah seorang ulama kontemporer yang dikenal moderat dalam fatwanya. Beliau bermukim di Mesir.

Karikatur Nabi; Blessing in Disguise



Karikatur Nabi; Blessing in Disguise
Oleh: Afrianto Daud


Sudah sama-sama kita ketahui bagaimana reaksi masyarakat dunia (baca: kaum muslimin) terkait pelecehan terhadap nabi Muhammad SAW dengan dipublikasikannya 12 karikatur nabi oleh beberapa media massa di Eropa (pertama kali dipublikasikan oleh Jyllands Posten, sebuah media nasional Denmark, tanggal 30 September 2005, tapi kemudian diterbitkan ulang oleh beberapa media Barat lainnya seperti majalah terbitan Norwegia pada Januari 2006, dua surat kabar di Selandia Baru milik kelompok penerbit Australia, Fairfax Wellington's, Dominion Post dan Christchurch's Press, serta sejumlah media terbitan Perancis antara lain France Soir, media di Jerman dan lain-lain). Hampir semua kaum muslimin marah, merasa terlecehkan, bahkan merasa tertantang. Betapa tidak, karena 12 kartun itu dinilai sangat provokatif, melecehkan, menghina, membentuk opini yang jelas sangat tidak sesuai dengan sosok nabi Muhammad SAW sebagai rasul yang sangat dihormati.

Bahkan, masalah kartun inipun menjadi isu internasional yang menyedot perhatian masyarakat dunia. Tak kurang para pemimpin dunia, seperti sekjen PBB, Koffi Anan, pimpinan Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan para petinggi Uni Eropa (UE) beberapa kali ikut menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang kasus kartun nabi ini. Kantor kedutaan Denmark di beberapa negara diserang dan dibakar massa. Bahkan, walikota London, Ken Livingstone, ikut ambil bagian dalam puluhan ribu demonstran yang menyesalkan publikasi kartun itu (Tempo Interaktif, 11/02/2006).

Di tanah air sendiri aksi protes ini tak kalah dahsyat. Ribuan orang berdemonstrasi ke kedutaan Denmark di Jakata. Pemerintah RI telah mengeluarkan statemen resmi menyayangkan penerbitan kartun itu. Beberapa kalangan menghimbau untuk memboikot produk Denmark. Sekelompok kaum muslim di Pondok Pesantren An-Najiyah, Sidosermo, Surabaya, bahkan telah berikrar siap mati untuk membela Rasulullah dan kemudian berniat mensweeping warga Denmark di Indonesia. Puncaknya, pemerintah Denmark secara resmi (sementara) menutup kedutaannya di Jakarta.

Sebelumnya, pemerintahan Denmark, diwakili Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen, sekaligus pimpinan Redaksi Jyllands Posten, Carsten Juste, meminta maaf kepada kaum Muslimin. Dalam siaran persnya, Pemerintah Denmark menyatakan permintaan maaf kepada umat Islam dunia dan menyatakan sangat prihatin dengan pemuatan gambar kartun Nabi Muhammad di surat kabar Jyllands Posten. Pemerintah Denmark juga mengatakan bahwa mereka mengutuk segala ungkapan, tindakan atau tanda yang berniat menghina sekelompok orang berdasarkan agama atau suku, karena hal itu suatu yang tidak dapat diterima oleh masyarakat yang saling menghormati. (Kompas, 3/02/2006)

Blessing in Disguise

Dibalik kemarahan mayoritas kaum muslimin yang diekspresikan dengan berbagai cara itu, sepertinya ada beberapa hikmah yang bisa kita ambil dari tragedi karikatur nabi ini. Saya menyebutnya sebagai blessing in disguise, karena di balik rasa terlecehkan, saya melihat justru kaum muslimin dalam batas-batas tertentu diuntungkan.

Hikmah yang sangat jelas adalah bahwa kartun nabi yang provokatif itu, tanpa sadar telah membangkitkan ghirah kaum muslimin di seluruh dunia. Ghirah yang kemudian secara langsung ataupun tidak telah memperkuat ruhul ukhuwah islamiah atau solidaritas antar kaum muslimin. Sepanjang hidup saya, sepertinya belum pernah ada satu isupun yang menjadi sentral isu kaum muslimin di seluruh dunia selama ini. Bahkan, isu pembebasan Palestinapun sepertinya tidak menjadi concern semua masyarakat muslim. Namun, isu kartun nabi menjadi perhatian hampir seluruh kaum muslimim di manapun.

Dengan demikian, ketika semangat kebersamaan kaum muslimin terbentuk melalui kasus ini, pada gilirannya suasana ini akan memberi efek positif baik kepada kaum muslimin secara internal maupun kepada kalangan non muslim secara eksternal. Bagi kaum muslimin, kartun nabi ini adalah pelajaran berharga untuk senantiasa menyatukan barisan menghadapi segala kemungkinan buruk dari kalangan islamaphobia, kelompok non muslim yang begitu takut dengan Islam sehingga terus berusaha menyerang Islam dan kaum muslimin secara membabi buta.

Tampaknya sampai kiamat datang benturan-benturan sepeti ini akan terus berulang. Sejarah membuktikan bahwa pelecehan kaum muslimin telah terjadi berulang kali. Mungkin masih segar dalam ingatan kita ketika Salman Rusydie mengarang buku the satanic verses yang kontroversial itu, atau ketika para orientalis barat memperkenalkan Islam sebagai agama yang disebarkan dengan pedang, agama yang tak menghargai kaum perempuan, anti demokrasi, dan opini miring lainnya.

Secara eksternal, kasus kartun nabi telah memberikan pelajaran sangat penting kepada non muslim bahwa kaum muslimin dari dulu sampai sekarang adalah kekuatan yang tetap eksis. Islam adalah agama yang tak lekang oleh panas, tak lepuk oleh hujan. Solidaritas kaum muslimin adalah kekuatan yang sangat mungkin bisa membuat non muslim takut. Banyak mungkin orang di barat tak habis pikir, mengapa masalah “ecek-ecek” seperti ini bisa direspon sedemikian serius oleh semua kaum muslimin.

Yang paling penting adalah, sama halnya dengan pasca peristiwa 11/9, kasus karikatur nabi juga telah menjadi iklan gratis Islam kepada seluruh dunia. Semakin banyak orang di Eropa yang bertanya dan mendiskusikan Islam. Di Prancis, misalnya, Nabi Muhammad Saw dan Islam menjadi headline dan topik pembicaraan di media massa Prancis. Nama Nabi Muhammad dan agama Islam menjadi buah bibir di kalangan media massa Prancis, dan juga di kalangan masyarakat umum di sana. TV-TV di Prancis menayangkan acara diskusi kalangan intelektual Muslim dan non-Muslim tentang krisis akibat publikasi kartun-kartun Nabi Muhammad SAW, sementara stasiun-stasiun televisi lainnya menayangkan program-program dokumenter tentang peradaban Islam (Islamonline.net, 12/2/2006). Sangat mungkin fenomena yang sama juga terjadi di belahan dunia yang lain.

Ketika makin banyak orang mengenal Islam di Eropa yang selama ini sebahagian besar penduduknya dikenal sekuler bahkan atheist dengan cara menggali dan bertanya dari sumber aslinya, sangat jelas hal itu adalah proses dakwah Islam yang luar biasa. Sangat logis kemudian, kalau kita berharap bahwa seiring perjalanan waktu akan terus terjadi migrasi besar-besaran manusia dari seluruh penjuru dunia untuk memeluk agama ini. Bukankah ini Blessing in Disguise? Wallahu a’lam.

*Afrianto Daud adalah mahasiswa S2 Monash University Australia
Antara Playboy, Kartun Nabi, dan Kebebasan Berekspresi

Antara Playboy, Kartun Nabi, dan Kebebasan Berekspresi

Oleh: Afrianto Daud

Ada dua isu serius yang menyita perhatian sekaligus energi anak bangsa ini beberapa bulan terakahir. Dua isu ini menjadi topik pembicaraan banyak orang di berbagai tempat, dari kedai-kedai kopi di pinggir jalan sampai ke gedung parlemen dan bahkan istana negara. Isu pertama adalah respon masyarkat berkenaan dengan rencana beredarnya majalah Playboy di Indonesia. Yang kedua adalah reaksi masyarakat dunia (baca: kaum muslimin) terkait publikasi 12 karikatur nabi yang awalnya diterbitkan oleh media terbesar Denmark, Jyllands Posten, pada edisi 30 September 2005 yang salah satu kartunnya menggambarkan sosok Muhammad SAW dengan sangat provokatif, karena nabi Muhammad digambarkan sebagai seorang yang di kepalanya ada bom yang siap diledakkan.

Terakait dengan isu pertama, rencana penerbitan majalah Playboy versi Indonesia, mulai menjadi perhatian publik segera setelah media memberitakan pengakuan Promotion Playboy Indonesia, Avianto Nugroho, yang mengatakan bahwa mereka sudah mengantongi izin penerbitan majalah itu di Indonesia. Tak urung, rencana ini menimbulkan pro kontra yang luar biasa di tanah air. Apalagi di gedung DPR sekarang sedang alot perdebatan tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Maka munculnya rencana penerbitan majalah yang dikenal sebagai majalah porno itu sangat relevan dengan perdebatan di gedung dewan dan bahkan menjadi ujian sangat awal dari RUU tersebut.

Berbagai sikap dan statement tak ayal menghiasi media massa hampir setiap hari. Pihak yang pendukung Playboy Indonesia berpendapat bahwa tak cukup alasan untuk melarang beredarnya majalah Playboy di Indonesia karena dalam sitem demokrasi yang sekarang kita miliki, kebebasan pers adalah bagaian dari kebebasan bereskspresi yang dilindungi undang-undang. Apalagi direncanakan Playboy hanya akan beredar di kalangan terbatas dengan harga istimewa yang diperkirakan tak akan mampu terbeli oleh rakyat badarai (baca: masayarakat kebanyakan).

Kelompok penentang yang datang dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, seniman, ulama, cendikiawan, politisi, pimpinan organisasi kemasyarakatn, bahkan sampai wakil presiden Jusuf Kalla angkat bicara tak bisa menerima rencana penerbitan majalah Playboy itu. Maka gelombang demonstarasi menolak Playboy pun bergulir bak bola salju. Bagaimanapun bangsa Indonesia dikenal dengan budaya khasnya yang tak bisa dilepaskan dengan niliai-nilai agama yang tentu saja sangat bertolak belakang dengan “budaya baru” yang akan diperkenalkan Playboy.

Labih jauh, para cendikiawan mengingatkan bahwa kehadiran media-media semacam ini telah memberikan dampak destruktif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, terutama di kalangan anak-anak. Merebaknya kasus-kasus amoral sebagian besar dipengaruhi oleh media bernuansa pornografi. Dari aspek pedagogis, keberadaan media yang bernuansa pornografi seprti majalah Playboy diyakini akan memiliki dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak anak kita. Merebaknya perilaku penyimpangan moralitas di kalangan anak didik yang semakin meningkat dari waktu ke waktu, salah satunya dipengaruhi oleh peredaran media pornografis.

Oleh karena itu, rencana penerbitan majalah Playboy harus dihentikan. Dengan dalih apapun, majalah tersebut ujung-ujungnya juga akan menyosialisasikan berbagai nilai yang menjungkirbalikkan moralitas dan mentalitas generasi penerus bangsa ini. Tidak hanya Playboy, para penduhulu majalah bernuasa sama yang sebenarnya sudah lama beredar di tanah air juga harus disikat dan dihabisi.Belum selesai isu tentang Playboy, kemudian perhatian kita tersedot kepada isu baru (yang substansinya sebenarnya sudah lama) yaitu tentang pelecehan terhadap baginda Rasulullah SAW dengan diterbitkannya 12 kartun nabi Muhamad SAW oleh Jyllands Posten, sebuah media nasional Denmark. Kemudian karikatur yang sangat melecekan dan provokatif itu diterbitkan olang oleh beberapa media Barat lainnya seperti majalah terbitan Norwegia pada Januari 2006, dua surat kabar di Selandia Baru milik kelompok penerbit Australia, Fairfax Wellington's, Dominion Post dan Christchurch's Press, serta sejumlah media terbitan Perancis antara lain France Soir, media di Jerman dan lain-lain.

Kartun tentang nabi Muhammad SAW ini kontan memicu reaksi dan kemarahan dari kaum muslimin di seluruh dunia. Aksi protes dan demonstrasi yang kadang diikuti kericuhanpun tak terelakkan. Masalah kartun inipun menjadi isu internasional yang menyedoot perhatian masyarakat dunia. Tak kurang para pemimpin dunia, seperti sekjen PBB, Koffi Anan, pimpinan Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan para petinggi Uni Eropa (UE) beberapa kali ikut menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang kasus kartun nabi ini. Kantor kedutaan Denmark di beberapa negara diserang dan dibakar massa. Bahkan, walikota London, Ken Livingstone, ikut ambil bagian dalam puluhan ribu demonstran yang menyesalkan publikasi kartun itu (Tempo Interaktif, 11/02/2006).

Di tanah air sendiri aksi protes ini tak kalah dahsyat. Ribuan orang berdemonstrasi ke kedutaan Denmark di Jakata. Pemerintah RI telah mengeluarkan statemen resmi menyayangkan penerbitan kartun itu. Beberapa kalangan menghimbau untuk memboikot produk Denmark. Sekelompok kaum muslim di Pondok Pesantren An-Najiyah, Sidosermo, Surabaya, bahkan telah berikrar siap mati untuk membela Rasulullah dan kemudian berniat mensweeping warga Denmark di Indonesia. Puncaknya, pemerintah Denmark secara resmi menutup kedutaannya di Jakarta.

Sebelumnya, pemerintahan Denmark, diwakili Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen, sekaligus pimpinan Redaksi Jyllands Posten, Carsten Juste, meminta maaf kepada kaum Muslimin. Dalam siaran persnya, Pemerintah Denmark menyatakan permintaan maaf kepada umat Islam dunia dan menyatakan sangat prihatin dengan pemuatan gambar kartun Nabi Muhammad di surat kabar Jyllands Posten. Pemerintah Denmark juga mengatakan bahwa mereka mengutuk segala ungkapan, tindakan atau tanda yang berniat menghina sekelompok orang berdasarkan agama atau suku, karena hal itu suatu yang tidak dapat diterima oleh masyarakat yang saling menghormati. (Kompas, 3/02/2006)



Kebebasan Yang Kebablasan

Menarik untuk mencermati dua kasus hot yang menjadi headline cukup lama di berbagai media ini. Ada kesamaan isu yang tak bisa dipisahkan dari dua kasus ini, yaitu terkait wacana tentang kebebasan berkespresi. Isu tentang kebebasan berekspresi ini benar-benar telah dijadikan “wahyu baru” oleh beberapa kalangan untuk melegitimasi apa saja yang mereka lakukan sekalipun ekpresi mereka itu jelas-jelas telah melanggar norma-norma yang ada di masyarakat (seperti kasus majalah Playboy), atau bahkan telah melukai perasaan kelompok lain (seperti dalam kasus kartun nabi).

Masih segar dalam ingatan kita, ketika kasus lukisan bugil artis Anjasmara dan model Isabella yang dipamerkan di sebuah pameran bikin ribut beberapa bulan yang lalu, atau ketika masyarakat menolak beredarnya filem remaja Buruan Cium Gue pada tahun lalu. Waktu itu, alasan kebebasan berekspresi juga menjadi dalil dan senjata pemungkas yang paling sering digunakan oleh pengikut “agama kebebasan” yang sudah kebablasan itu.
Dari kasus ini sepertinya kita perlu mempertanyakan dan mengkaji ulang sampai dimana sih batas-batas kebebasan berekspresi? Mungkin menarik untuk menyimak pendapat Sekjen PBB, Koffi Annan, ketika mengomentari kasus kartun nabi. Dalam pernyataan melalui jurubicaranya di New York, Annan menegaskan bahwa kebebasan pers juga harus memperhatikan penghormatan kepada semua agama. (Republika, 03/02/2006)

Saya pikir, Koffi Anan benar. Kebebasan berekspresi tidak bisa diartikan sebagi hak untuk melakukan apa saja tanpa perlu memperhatikan dampak sosial dari ekpresi itu. Kebebasan berkspresi juga tidak bisa secara sederhana dijadikan argumen untuk melegitimasi setiap kegiatan yang jelas-jelas telah menciderai perasaan kelompok lain. Dari kasus Playboy dan karikatur nabi ini kita mendapat pelajaran berharga bahwa tak bisa disangkal pemahaman sebagian kita tentang kebebasan berkespresi harus ditulis ulang. Kita tidak boleh kebablasan lagi. Wallahua’lam bissawab

* Afrianto Daud, mahasiswa program Master of Education Monash University Australia
Memahami AS Melalui Bahasanya

Memahami AS Melalui Bahasanya

Berita / Opini
Memahami AS Melalui Bahasanya
Oleh Afrianto Daud
Padang Ekpres, Senin, 06-Juni-2005, 15:52:44
10 klik


”Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian ungkapan populer yang telah kita kenal semenjak kita mempelajari bahasa Indonesia di bangku sekolah dasar dulu. Ungkapan itu berarti bahwa bahasa, sebagai salah satu pilar terpenting dalam struktur budaya sebuah masyarakat, akan merefleksikan karakter masyarakat si pengucap bahasa tersebut. Dengan demikian, bahasa bisa dikatakan sebagai identitas yang melekat erat pada komunitas penutur (asli) bahasa itu.

Amerika Serikat adalah salah satu negara penutur asli (native speaker) Bahasa Inggris, disamping negara-negara lain, seperti Inggris dan Australia. Maka, kalau kita termasuk salah seorang yang ”gemas” dengan beberapa kebijakan politik kontroversial negara adidaya Amerika Serikat, kita bisa mencoba memahami kebijakan negara yang dijuluki superpower itu dengan memahami keunikan Bahasa Inggris.

Yang paling mudah diperhatikan adalah bagaimana penulisan subjek I (saya) dalam bahasa Inggris. Dimanapun posisinya, baik di awal, di tengah, bahkan di akhir kalimat I selalu ditulis dengan huruf kapital (huruf besar). Penulisan I ini tentu berbeda dengan subjek yang lain (you, we, they, he, she, it), yang semuanya mengikuti aturan penulisan standar yang lazim digunakan huruf latin.

Bagi saya, hal ini (penulisan I yang selalu dengan huruf kapital) merefleksikan ”kepercayaan diri” yang sangat tinggi yang dimiliki bangsa Amerika. Kepercayaan diri yang kadang menjelma menjadi kesombongan dan keangkuhan. Maka dalam konteks ini, wajar saja ketika Amerika ”dihujat” masyarakat dunia dalam berbagai aksi demonstrasi yang menentang serangan Amerika terhadap Afghanistan dan Irak, namun Amerika dibawah komando George W Bush tetap saja dengan ”percaya diri” memborbardir dan meluluhlantakkan dua negara yang secara militer sebenarnya sangat tidak seimbang dengan negara adidaya itu.

Bahkan, ketika dunia menyadari bahwa alasan awal penyerangan Amerika ke Irak yang mengatakan bahwa Saddam Hussen menyimpan senjata pemusnah massal (baca: bom nuklir) sama sekali tidak terbukti, pemerintah Amerika bersama sekutunya (termasuk pemerintah Inggris di bahwah komando Tony Blair dan Australia) sama sekali tidak mau mengakui kekeliruan itu. Bahkan sampai detik ini, Amerika dan sekutunya tetap dengan kepercayaan diri tinggi memperkuat cengkramannya di bumi yang dijuluki ”kota seribu satu malam” itu. Rasanya mustahil bagi kita mendengar Amerika mau mengakui kesalahannya itu, apalagi meminta ma’af kepada masyarakat dunia.

Kembali ke bahasa Inggris. Bahasa lnggris adalah bahasa dengan aturan yang tingkat inkonsitenesinya paling tinggi dibanding bahasa lain di dunia. Sebagai contoh, ketika untuk menyebut dia, bahasa Inggris memakai istilah yang berbeda, yaitu he (dia laki-laki) dan she (dia perempuan), namun untuk subjek yang lain aturan ini tidak lagi berlaku. Tidak ada beda istilah untuk perempuan atau laki-laki. Ini tentu saja sangat beda dengan aturan bahasa lain, bahasa Arab misalnya, yang sangat konsisten dengan aturan perbedaan sebutan untuk laki-laki (muzakkar) dan perempuan (muannas).

Inkonsistensi ini juga akan sangat banyak kita temui kalau kita belajar tenses bahasa Inggris. Ada begitu banyak pengecualian dalam aturan itu. Misalnya, untuk menyatakan kalimat dengan kegiatan pada masa lalu (past tense) ada aturan bahwa kita harus menggunakan kata kerja bentuk kedua yang biasanya berakhiran dengan -ed, misal I wanted to see you in the office yesterday. Namun, ternyata ada begitu banyak kata kerja yang tidak mengikuti aturan ini, dimana kata kerjanya justru berubah semaunya (irregular verbs), misal The man drove the car very fast.

Dalam konteks inkonsistensi aturan ini, sebagian orang ada yang bilang bahwa kata dan huruf bahasa Inggris paling ”munafik” sedunia. Apa maksudnya? Karena yang ditulis dan diucapkan sangat jauh berbeda. Misalnya, love (bacanya lavb- akan lebih jelas pakai fonetik simbol) atau unique (bacanya yuniq), I dibaca ai, dan seterusnya. Kemudian, hampir semua huruf tidak punya konsistensi. Misal, kenapa child dibaca chaild, sementara children tidak dibaca chaildren?

Bagi saya, inkonsistensi bahasa Inggris seperti dijelaskan di atas mempertegas dan memperjelas inkonsistensi sikap Amerika terhadap banyak hal menyangkut kepentingan masyarakat internasional. Sudah lama sebahagian masyarakat dunia komplain dengan standar ganda Amerika dalam menyikapi berbagai kasus di dunia. Amerika dianggap tidak konsisten dengan aturan dan nilai-nilai yang mereka kampanyekan sendiri, seperti isu demokratisasi, transparansi, dan penghormatan terhadap hak azasi manusia.

Terkait dengan demokratisasi, misalnya, Amerika dengan bangga memproklamirkan diri sebagai negara paling demokratis di dunia. Bahkan, Amerika menganggap merekalah model ideal pelaksanaan demokrasi di jagad ini. Amerika sangat percaya bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan ideal yang harus dianut oleh setiap bangsa, maka oleh sebab itu Amerika akan selalu berada pada posisi terdepan dalam setiap proses demokratisasi di dunia. Salah satu alasan utama Amerika menyerang Irak tak bisa dilepaskan dari keinginan Amerika untuk menegakkan demokrasi ”ala Amerika” di negeri ”seribu satu malam” itu.

Namun sejarah mencatat, Amerika ternyata tidak konsisten dengan apa yang selama ini dia dengung-dengungkan. Amerika diyakini dalang dibalik ”kudeta demokrasi” yang dilakukan rejim otoriter Aljazair untuk tidak mengakui kemenagan Partai Islam FIS pada pemilu yang sebenarnya dilakukan sangat demokratis di Aljazair pada awal tahun sembilan puluhan. Pendongkelan Erbakan di Turki oleh militer beberapa tahun kemudian juga diyakini di beking kuat oleh barat (baca: Amerika), sekalipun dunia tahu bahwa Erbakan menjadi perdana mentri setelah Partai Islam “Refah” yang dipimpinnya menang mutlak secara demokratis di Turki. Ini semua dilakukan Amerika hanya kerena demokrasi menghasilkan sesuatu yang bisa mengancam eksistensinya sebagai negara adidaya.

Trus, kalau begitu kapan Amerika betul-betul menjadi pejuang demokrasi? Jawabannya sangat mudah, yaitu ketika proses demokrasi menghasilkan sesuatu yang kompatibel dengan kepentingan Amerika. Inilah di antara bukti bahwa Amerika memang ”plin plan”, alias ”muna” seperti hanya bahasanya.

Belum lagi kalau kita bicara bagaimana gaya Amerika memperjuangkan hak azasi manusia. Sangat jelas bahwa Amerika juga menerapkan double standard. Ketika beberapa relawan asing terbunuh dalam kekacauan di Timor Timur pasca jajak pendapat yang membuat Timtim lepas dari pangkuan ibu pertiwi, Amerika langsung berang. Tak tanggung-tanggung, Amerika menuduh Indonesia telah melakukan kejahatan kemanusiaan karena tidak melindungi hak azasi manusia. Namun pada saat yang sama, dunia tahu bahwa Amerika seperti membiarkan tentara zionis Israil membunuh ribuan rakyat Palestina sampai detik ini. Bahkan, beberapa kali Amerika menggunakan hak vetonya untuk membatalkan resolusi PBB untuk mengecam kebrutalan tentara Israil yang jelas jelas telah melakukakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan mengangkangi hak asazi manusia.

Kenapa Amerika bungkam? Lagi-lagi jawabannya adalah masalah kepentingan. Sepertinya penegakan hak asazi manusia tidak berlaku bagi Amerika kalau tidak berhubungan langsung dengan kepentingannya. Atau jangan jangan Amerika, karena keangkuhannya, beranggapan bahwa manusia lain di luar diri mereka bukanlah manusia yang sebenarnya, makanya tak pantas dibela, apalagi dihormati. Trus, kalau begitu apakah kesombongan dan inkonsistensi adalah karakter genetik yang telah sangat melekat dalam denyut nadi kehidupan bangsa Amerika seperti yang terefleksi dalam Bahasa Inggris- akan berlaku sepanjang hayat? Entahlah! Hanya Tuhan saja yang tahu.

*Penulis adalah dosen mata kuliah Cross Cultural Understanding STAIN Prof M Yunus Batusangkar
Beberapa Catatan Menjelang Ujian Nasional 2006

Beberapa Catatan Menjelang Ujian Nasional 2006

Beberapa Catatan Menjelang Ujian Nasional 2006
Oleh: Afrianto Daud
Padang Ekspres, 11 Februari 2006

Tidak lama lagi dunia pendidikan menengah kita akan kembali menyelenggarakan “perhelatan tahunan” yang bernama Ujian Nasional (dulu lebih populer disebut UAN). Menurut Permendiknas Nomor 20 Tahun 2005, Ujian Nasional itu akan diselenggarakan sekitar bulan Mei 2006 dengan beberapa perubahan aturan dibanding sebelumnya. Selain perbedaan dalam peserta, dimana tahun ini untuk pertama kalinya siswa Sekolah Dasar diikutkan, Ujian Nasional 2006 direncanakan hanya akan diadakan satu kali (tahun 2005 Ujian Nasional diadakan dua kali). Jadi bagi siswa yang tidak lulus ujian, tidak ada lagi kesempatan untuk memperoleh ujian susulan. Siswa yang bersangkutan harus kembali mengulang satu tahun, dan kemudian ikut ujian lagi pada tahun berikutnya. Perbedaan juga terjadi pada standar nilai minimal kelulusan. Sekalipun standar minimal kelulusan nilai pelajaran yang diuji secara nasional (Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Indonesia) tahun ini masih tetap 4, 26, namun nilai rata-rata untuk ketiganya minimal harus 4. 51. Tahun lalu tidak ada peraturan yang mengharuskan rata-rata niliai Ujian Nasional seperti ini.

Pemerintah sepertinya sudah sangat yakin dengan aturan baru ini, sekalipun sampai detik ini masih ada banyak pihak yang berpolemik terkait isu perlu atau tidaknya kebijakan (yang oleh sebagian pihak justru dianggap tidak bijak) Ujian Nasional diteruskan. Bahkan, seperti yang disampaikan Dirjen Dikdasmen Dr. Indra Jati Sidi kepada para Kepala Dinas Pendidikan Provinsi se-Indonesia standar, kelulusan ini dari tahun ke tahun akan terus meningkat, hingga mencapai nilai minimal 6,00 (Jawa Pos, 10/02/2005)

Kelompok yang tidak setuju dengan Ujian Nasional beralasan bahwa Ujian Nasional telah mereduksi makna pembelajaran di sekolah dari pembelajaran bermakna yang memperhatikan ketiga aspek taksonomi pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotor) secara seimbang menjadi pembelajaran mekanik tanpa makna karena kegiatan belajar cendrung terfokus pada pembahasan bagaimana menjawab soal ujian. Pemberlakuan Ujian Nasional juga dinilai sebagai bentuk inkonsistensi pemerintah dengan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sekarang sedang dipraktekkan di banyak sekolah di Indonesia. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa kebijakan Ujian Nasional dianggap telah merampas hak pedagogis guru dalam penilain dan melabrak prinsip-prinsip Undang Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Pasal Pasal 58 ayat 1 yang dengan tegas mengatakan bahwa kegiatan penilaian hasil belajar sepenuhnya adalah hak dan kewajiban para pendidik, bukan negara.

Di lain pihak, dengan memakai alasan yuridis yang sama, pemerintah bersikukuh dengan pendapatnya yang menyatakan Ujian Nasional justru merupakan ananah Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya Pasal 35 tentang pentingnya standar nasional pendidikan. Apalagi, dalam konteks perbaikan kualitas pendidikan kita secara keseluruhan, tersedianya sebuah piranti kendali mutu (quality control) atas hasil pendidikan, seperti halnya Ujian Nasional ini, penting dan mendesak untuk dimiliki.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memperpanjang polemik tentang menolak atau mendukung Ujian Nasional, karena yang pasti keberadaan Ujian Nasional adalah sebuah kenyataan dalam dunia pendidikan kita. Suka atau tidak, kita semua (sementara waktu) harus menerimanya. Penulis ingin menyampaikan beberapa catatan agar di satu sisi keinginan pemerintah (berupa usaha peningkatan mutu pendidikan nasional melalui Ujian Nasional) bisa tercapai, dan pada saat yang sama pemerintah bisa memperhatikan dan mendengar aspirasi kelompok penentang kebijakan Ujian Nasional.

Belajar Dari Masa Lalu

Kalau memang dasar filosofis pemberlakuan Ujian Nasional adalah dalam rangka perbaikan kualitas pendidikan kita secara keseluruhan sebagai bentuk respon pemerintah dalam menghadapi berbagai tantangan berat yang akan dihadapi bangsa ini ke depan, maka belajar dari tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan Ujian Nasional 2006 harus sudah dikawal sejak awal agar tidak terjadi hal-hal yang bisa merusak cita-cita mulia itu.

Mari kita sedikit flash back pada pelaksanaan Ujian Nasional (pada waktu itu masih disebut UAN) tahun ajaran 2003/2004, pada awalnya Mendiknas telah mengeluarkan SK Nomor 153 tanggal 14 Oktober 2003 tantang UAN yang memuat seluk beluk aturan UAN. Salah satu aturan itu adalah terkait dengan syarat kelulusan, dimana siswa minimal harus memperoleh nilai murni 4,01 untuk beberapa mata pelajaran yang diuji secara nasional. Dalam SK itu juga ditegaskan bahwa tidak ada lagi ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus, kecuali kembali sekolah pada kelas III dan ikut pada UAN tahun berikutnya.

Sangat disayangkan kemudian adalah pemerintah seperti tidak serius dengan aturan yang dibuat semula. Tiba-tiba kita dikejutkan dengan keluarnya SK Mendiknas Nomor 037/V/2004, tanggal 26 April 2004 yang membatalkan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi peserta UAN yaitu tidak adanya ujian susulan bagi peserta yang belum mampu meraih minimal 4,01. Dengan kata lain, suasana psikologis yang penuh dengan “Siaga I” dari siswa, guru, dan orang tua sebelumnya kemudian mencair. Tentu saja, sedikit atau banyak, pembatalan aturan ini telah memberikan efek negatif kepada banyak pihak, terutama siswa dan guru. Kita tidak menginginkan, pemerintah kembali plin plan dengan aturan baru ini.

Ketika ujian dilaksanakan, kita juga melihat fenomena yang telah menjadi “rahasia umum” di masyarakat bahwa ternyata banyak pihak terkait terkesan setengah hati dalam menjalankan aturan Ujian Nasional itu dengan baik, hal ini bisa dilihat dari kasus ikutnya guru membantu siswa dalam menjawab soal, bocornya soal sebelum ujian dilaksanakan di beberapa tempat, pengawas yang membiarkan siswa saling contek ketika ujian berlangsung, dan bahkan ada pejabat yang “membisikkan” sesuatu ke telinga panitia ujian agar tidak terlalu ketat dalam pelaksanaan ujian.

Dengan berbagai alasan, banyak sekolah terindikasi mensiasati bagaimana bisa “membantu” (saya lebih suka menyebutnya dengan “menjerumuskan”) anak didik mereka ketika ujian berlangsung. Seperti disinyalir M Basuki Sugita (Kompas, 15/08/2005) bahwa modus operandi sekolah biasanya dimulai dari pembuatan nominasi nomor urut ujian dan nomor bangku siswa. Siswa yang dianggap pintar diusahakan didistribusikan ke semua kelas dengan posisi tempat duduk di bagian tengah, dengan tujuan agar yang bersangkutan bisa menjadi “dewa penolong” teman-teman di sekitarnya.

Tata letak bangku dan kursi siswa punya andil ”meluluskan” siswa. Pada umumnya ruang kelas SMP (termasuk sebagian SMA) relatif kecil, berukuran 7 x 7 m. Jarak tempat duduk peserta ujian relatif cukup dekat. Jarak siswa depan-belakang sekitar 0,5 m dan kanan-kiri 1 m saja. Ditambah model soal UN pilihan ganda, sah-sah saja peserta ujian sering lihat kiri-kanan, utamanya ”melirik” hasil kerja teman yang pandai. Banyak siswa mengaku untuk mengerjakan 30 soal, mereka hanya butuh 10 menit untuk menjawab. Celakanya, Peraturan Mendiknas Nomor 1/2005 tentang Ujian Nasional tahun pelajaran 2004/2005 tidak mengatur tata ruang UN secara mendetail. Hanya disebutkan, ruang ujian harus memenuhi syarat antara lain aman dan memadai.

Tidak berhenti sampai di situ, ketika hari H ujian berlangsung ada kecendrungan pengawas ujian tidak menjalankan tugas mereka secara maksimal. Seakan ada kesepakatan diam-diam untuk sedikit banyak memberi kesempatan kepada siswa untuk “berekspresi”. Ucapan ”siswa yang Anda jaga juga tidak lain murid Anda sendiri”, acapkali membuat bimbang para guru. Di satu pihak guru harus mengamankan kualitas pendidikan nasional, di sisi lain guru tidak tega anak didiknya gagal.

Maka melihat fenomena ini, sangat beralasan kalau kita mempertanyakan validitas hasil Ujian Nasional tahun sebelumnya. Dengan demikian, hasil itu sangat mungkin tidaklah menggambarkan kualitas pendidikan kita yang sebenarnya. Data dan gambaran tentang kualitas pendidikan nasional melalui Ujian Nasional justru bias dan menyesatkan.
Kenyataan ini tentu sangat disayangkan sekaligus memalukan. Mereka tidak hanya telah membuat hasil Ujian Nasional menjadi tidak valid, tapi lebih dari itu mereka telah merusak mental beberapa generasi masa datang. Ketika seorang anak tahu bahwa gurunya membantunya ketika ujian, yang bersangkutan mungkin tak akan pernah lupa selama hidupnya. Apa yang akan dilakukan yang bersangkutan nanti ketika suatu saat juga menjadi guru? Sangat mungkin dia juga akan mewariskan kejahatan yang sama.

Agar hal yang sama tidak terjadi pada Ujian Nasional 2006, mendesak bagi pemeritah dari sekarang untuk membuat regulasi yang bisa mengamankan jalannya Ujian Nasional. Semua pihak terkait sepertinya perlu disumpah atas nama tuhan agar mereka bisa menjalankan fungsi mereka dengan benar. Kalau perlu, siapkan sebuah piranti hukum yang mengatur sanksi bagi mereka yang dengan sengaja melanggar aturan main Ujian Nasional 2006. Sangsi, berupa pemecatan secara tidak hormat, saya pikir bisa dijadikan alternatif untuk mendidik semua pihak terkait agar bisa berlaku jujur dan professional dalam menyelenggarakan Ujian Nasional.
Keberadaan kelompok independen yang bertugas memantau dan megawasi proses pelaksanaan Ujian Nasional sepertinya juga mendesak diperlukan. Selama ini yang mengawasi Ujian Nasional semuanya berasal dari kalangan pemerintah, sehingga tidak ada data penyeimbang untuk menilai apakah Ujian Nasional sudah berjalan dengan benar atau belum. Kalau untuk peyelenggaraan Pemilihan Umum ada begitu banyak pengawas, kenapa untuk peyelenggaran perhelatan penting menyangkut masa depan anak bangsa ini tak ada satupun kelompok pengawas?

Dengan cara ini diharapakan Ujian Nasional 2006 yang akan menghabiskan dana hampir 240 miliar itu tidak menjadi sia-sia. Keinginan pemerintah untuk menjadikan Ujian Nasional sebagai salah satu piranti kontrol kualitas pendidikan nasional bisa terwujud, dan pada saat yang sama dengan berjalannya Ujian Nasional sebagaiamana yang diharapakan, pemerintah bisa mengurangi peluang bagi kelompok penentang Ujian Nasional untuk kembali mempertanyakan sistem ujian ini. Wallahu a’lam bis sawab.

* Afrianto Daud, Guru MAN 3 Batusangkar, Mahasiswa program Master of Education di Monash University Australia
Mengimpikan Nagari Qurani

Mengimpikan Nagari Qurani

News / Nagari
Mengimpikan Nagari Qur’ani
Oleh: Afrianto Daud
Padang Ekspres, Minggu, 16-Oktober-2005, 06:36:24
128 clicks


Adagium yang sangat populer melekat dengan budaya Minangkabau adalah adat basandi syara , syara' basandi kitabullah (ABS-SBK). Karena begitu populernya, hampir tak ada orang Minang yang tidak mengenal ungkapan ini. Bahkan, ungkapan filosofis ini telah banyak dibicarakan dalam berbagai forum diskusi, seminar, dan lokakarya tentang adat Minangkabau.

Namun kalau kita mau jujur, pembicaraan tentang ABS-SBK selama ini barulah sebatas wacana retorik, prakteknya belum terlihat secara nyata dalam pe.ngalaman hidup masyarakat Minang sehari-hari. Secara historis ABS-SBK lahir dari hasil kompromi (untuk tidak menyebut kesepakatan) kaum adat dengan para ulama. Seperti diketahui ketika Islam masuk ke ranah Minang, orang Minang sudah sangat kuat dengan adatnya. Pada awal da'wah Islam di Minangkabau, ada beberapa kebiasaan orang Minang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti menyabung ayam, minum tuak, berjudi dan beberapa prosesi adat yang berbau animisme.

Tentu saja kebiasaan yang sudah jadi tradisi ini sulit berubah dengan cepat, sekalipun mereka sudah beragama Islam. Dakwah Islam yang dibawa para ulama, tentu berjuang untuk memberantas kebiasaan buruk itu. Perselisihan antara ulama dengan kaum adat yang sangat kuat dengan prinsip-prinsip adatnya tak terhindarkan. Dan pada akhirnya dilakukan pertemuan (musyawarah) besar yang melibatkan kaum adat, cerdik pandai dan ulama di Bukit Marapalam Puncak Pato Tanah Datar.

Pertemuan itu sangat legendaris, karena dari pertemuan itulah terlahir ungkapan adat basandi syara, syara' basandi kitabullah . Inti dari ABS-SBK adalah adanya kesepahaman dari tiger tungku sajarangan bahwa kitabullah (baca: ajaran Islam) adalah payung tertinggi yang menaungi tata cara kehidupan masyarakat Minang secara keseluruhan. Kalaupun masyarakat tidak boleh meninggalkan adat, namun adat yang dipakai haruslah sesuai dengan ajaran Islam. Dalam bahasa lain, ABS-SBK secara hakekat sebenarnya adalah kesepakatan semua orang Minang untuk menjadikan Islam sebagai way of life mereka.

Dengan adanya pemahaman seperti ini, tidak heran kalau Minangkabau sangat identik dengan Islam. Islam telah menjadi sumber energi sekaligus ruh kehidupan budaya orang Minang. Bahkan, pada titik ekstrim kalau ada orang Minang yang keluar dari agama Islam, maka yang bersangkutan secara otomatis tidak lagi berhak disebut sebagai orang Minang. Pendeknya, Orang Minang pasti (beragama) Islam, sekalipun semua orang Islam tidak otomatis menjadi orang Minang.

Melekatnya masyarakat Minang dengan Islam, antara lain, bisa dilihat dari ungkapan yang mengatakan syara' mangato, adaik mamakai. Ungkapan ini berarti bahwa apapun yang digariskan oleh agama (Islam) secara konseptul akan dipatuhi dan dilaksanakan oleh adat secara operasional. Senada dengan itu, petatah petitih adat yang mendeskripsikan beberapa pilar penyangga nagari Minangkabau diantaranya menyebut bahwa sebuah nagari harus memiliki balai jo musajik (pasar dan masjid). Artinya sebuah nagari belum bisa dikatakan nagari Minang yang ideal kalau belum memiliki (salah satunya) masjid sebagai sarana penting peribadatan kaum muslimin. Dengan demikian, sekali lagi, Islam adalah ruh dan energi yang sudah menyatu dengan masyarakat Minangkabau sejak lama.

Nagari Minangkabau Kontemporer

Tak bisa disangkal bahwa gambaran nagari Minangkabau hari ini dalam hubungannya dengan penerapan nilai-nilai Islam sangat jauh dari apa yang digambarkan secara konseptual di atas. Pendeknya, Minangkabau sudah mengalami degradasi nilai dan perubahan budaya yang dahsyat. Nagari Minang sepertinya tak kuat dengan serbuan budaya asing yang dibawa arus globalisasi informasi . Serangan budaya itu telah mengerogoti jiwa orang Minang dan menembus dinding hampir setiap rumah tangga orang Minang saat ini. Sehingga akhimya, konsep adat basandi syara', syara' basandi kitabullah lebih banyak hanya menjadi retorika orang Minang, baik yang di kampung maupun di perantauan.

Tengoklah apa yang terjadi di nagari Minangkabau hari ini. Nilai-nilai luar seperti budaya materialisme, hedonisme, dan bahkan individualisme telah mengganti budaya luhur orang Minang yang dulu dikenal dengan masyarakat yang Islami. Orang Minang tak lagi bangga dengan identitas asli mereka. Lihatlah bagaimana prilaku dan cara berpakaian anak gadih Minang sekarang. Perhatikan juga tingkah polah ibu-ibu muda Minang yang notabene akan menjadi bundo kanduang, limpapeh rumah gadang.

Budaya kontrol sudah semakin berkurang, yang berkembang justru permissivisme. Peran strategis tigo tungko sajarangan sudah semakin memudar dan dirasa tidak lagi efektif menjaga nama baik kampung dan nagari. Hari ini tak banyak lagi orang yang peduli dengan kemaksiatan yang mengotori nagari. Lihatlah siapa yang berani melarang peredaran togel di perkampungan Minang. Siapa yang peduli dengan anak kemanakan yang bermabuk-mabukan. Bahkan, maksiat dalam bentuk zina pun lebih sering diselesaikan dengan penyelesaian biasa-biasa aja ketimbang memprosesnya dengan hukuman yang berat.

Minangkabau, memang sudah berubah. Kalaupun saat ini, seoang trend istilah kembali ke nagari, atau kembali ke surau, tetapi sekali lagi, istilah itu hanya sekedar retorika, dan tidak terlihat aplikasinya secara substantif di lapangan. Kalau kondisi ini dibiarkan begini terus tanpa penyelesaian yang revolusioner, bukan tidak mungkin Minangkabau dengan segala pernik keunikan budayanya hanya akan menjadi cerita indah masa lalu dan kemudian besok atau lusa cerita indah itu hanya bisa kita temukan dalam lembaran sejarah yang tersimpan dalam mesium budaya orang Minangkabau.

Nagari Qur’ani, Kenapa Tidak?

Menurut saya, satu-satunya solusi revolusioner dari permasalahan Minangkabau hari ini adalah dengan secara tegas kembali memproklamirkan al-quran sebagai sumber hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh seluruh orang Minangkabau. Tidak saatnya lagi orang Minang bangga dan berlindung di balik aturan-aturan adat yang tidak secara tegas menjadikan Al-Quran sebagai payung tertinggi. Sudah datang waktunya bagi nagari-nagari Minang mempraktekkan seluruh ajaran Islam secara kaffah dalam seluruh dimensi kehidupan orang Minang. Kalau Aceh, Gorontalo, dan beberapa daerah lain bisa secara tegas dan percaya diri menyatakan daerah mereka bersyariat Islam, kenapa Minangkabau tidak?

Pada tataran praktis, kita mengimpikan lahirnya sebuah nagari Minangkabau yang qurani. Nagari qurani yang kita impikan ini adalah nagari yang dipimpin tidak hanya oleh seorang yang diakui ketokohannya dalam masyarakat tapi jugs seorang yang faqih dalam agama. Pemimpin itu dipilih oleh sebuah lembaga syuro yang diisi oleh perwakilan masyarakat yang diakui kredibilitas dan keislaman mereka. Dengan peinimpin nagari yang seperti itu diharapakan yang bersangkutan punya visi ilhiah untuk membawa masyarakatnya menuju keselamatan di akhirat, sekaligus visi duniawi yang tahu cara bagaimana masyarakatnya bisa hidup damai dan sejahtera di dunia ini.

Dengan wali nagari yang bervisi ilahiah diharapan dia bisa menjadikan Al-quran dan hadist secara tegas sebagai sumber hukum tertinggi takkala nagari menetapkan peraturan nagari yang mengikat semua unsur dalam nagari itu. Diharapkan, implikasi dari penerapan syariat Islam dalam nagari itu kemudian akan terlihat dalam suasana Islami yang terbangun secara kondusif di nagari. Kita membayangkan, nagari qurani itu akan dihiasi dengan akhlak Islami yang indah dari segenap penghuninya. Masjid sebagai sentral aktifitas anak nagari selalu hidup dengan berbagai kegiatan keislaman, tidak hanya dalam bulan Ramadan namun setia saat. Masyarakat hidup bernagari dengan rukun dan damai dibingkai oleh suasana ukhuwah Islamiah yang kental. Barek samo dipikua, ringan samo di jinjiang, tatilantang sama makan angin, tatilungkuik samo makan tanah, tidak hanya sekedar ungkapan retoris, tapi betul-betul terlihat secara real dipraktekkan.

Lebih jauh, di nagari itu kita membayangkan masyarakat hidup dengan aman dan tenang jauh dari perbuatan maksiat. Kalaupun ada maksiat, namun maksiat itu dibasmi dengan hukum yang tegas yang bersifat mendidik dan menyelesaikan permasalahan. Hukuman sosial dalam bentuk pembuangan seseorang dari nagari ketika yang bersangkutan melakukan tindakan maksiat, seperti zina, selayaknya dipertimbangkan kembali untuk diterapakan. Kalaupun hukum positif Indonesia belum memungkinkan hukuman rajam untuk yang berzina, atau potong tangan bagi yang mencuri, tetapi sekali lagi, di nagari qurani itu harus dicari hukuman alternatif yang tegas dan mendidik bagi setiap tindak kejahatan dan maksiat.

Sekali lagi, penulis berkeyakinan hanya dengan kembali ke nilai-nilai Islamlah Minangkabau bisa kembali menemukan jati dirinya. Tentu saja, untuk sampai pada keadaan yang kita inginkan ini tidaklah semudah mengucapkannya. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua unsur untuk menjadikan impian ini menjadi kenyataan. Masalahnya, siapa yang mau memulainya? Mungkinkah gubernur terpilih mendatang? Wallahu a 'lam bissawab

Afrianto Daud, S.Pd Anak Nagari Barung-Barung Belantai, tinggal di Sungayang Batusangkar anto_pasisia@yahoo.com

Jalan ke Lintau dan Mental Birokrat Kita

Jalan ke Lintau dan Mental Birokrat Kita
Oleh Afrianto Daud
Padang Ekspres, Sabtu, 14-Januari-2006, 03:38:05


Lintau, barangkali dulu tidak banyak orang yang mengenal nama daerah ini, apalagi yang pernah pergi ke kecamatan yang terletak agak jauh dari pusat Kota Batusangkar (lk 40 km dari Batusangkar). Namun hari ini saya pikir Lintau telah makin populer dan bahkan telah masuk dalam perbendaharaan kosa kata nasional.

Hal ini bisa dipahami ketika Lintau menjadi daerah yang tak bisa dipisahkan dari nama beberapa tokoh nasional. Di antara tokoh itu misalnya Dr. Fasli Jalal, seorang pejabat di lingkungan Depdiknas yang beberapa kali berkunjung ke tanah leluhurnya ini. Kemudian, Lintau juga makin dikenal ketika mantan bupati Tanahdatar, Masriadi Martunus, putra kelahiran Lintau, yang dianggap sukses memimpin daerah ini sampai dikukuhkan sebagai bupati paling berhasil menjalankan otonomi daerah. Apalagi ketika Jusuf Kalla menjadi orang nomor dua di Republik ini, Lintau makin diketahui banyak orang karena istri Jusuf Kalla, Ny Mufidah, adalah anak “rang Lintau” asli.

Sekarang, ketika Jusuf Kalla berkunjung ke Sumatera Barat, hampir bisa dipastikan dia akan menyempatkan diri untuk berkunjung ke Lintau menjenguk “tanah kelahiran” istrinya itu. Maka semenjak itu, jalan ke Lintau telah menjadi salah satu jalan yang bakal ditempuh rombongan kenegaraan yang terhormat itu.

Bagi mereka yang pernah pergi ke Lintau melewati jalan Puncak Pato tentu sudah sangat paham betapa jalan menuju Lintau sangat mengasyikkan sekaligus penuh tantangan. Perjalanan ke sana menyenangkan karena kita bakal bertemu dengan suasana pegunungan yang sejuk dengan pemandangannya yang indah, namun perjalanan itu menjadi sangat menantang (untuk tidak mengatakan sangat berbahaya) karena jalan menuju ke situ penuh tanjakan dan kelokan patah. Tanjakan dan kelokan itu diperparah oleh badan jalan yang relatif sempit dan kondisi jalan yang (dulu) banyak yang berlubang. Apalagi di kanan kiri jalan tumbuh subur semak belukar dengan berbagai jenis tumbuhan yang sangat mengganggu karena menghambat pandangan pemakai jalan.

Dengan kondisi tersebut, sangat mungkin jalan menuju Lintau rawan kecelakaan. Sebagai seorang yang hampir setiap hari menempuh jalan ini, saya berkali-kali hampir mengalami nasib naas di perjalanan karena motor saya “basirobok” dengan kendaraan lain di beberapa tikungan patah yang kanan kirinya ditumbuhi semak belukar tinggi.

Sebenarnya hal itu tidak harus terjadi kalau semak belukar yang tumbuh subur itu dibersihkan secara berkala sehingga penglihatan pemakai jalan tidak harus terganggu. Tapi, untunglah ketika rombongan wakil presiden dijadwalkan untuk pergi ke Lintau, jalan ke Lintau tiba-tiba berubah. Jalan yang berlubang ditambali dan semak belukar itu dibersihkan sehingga jalan ke Lintau kelihatan sangat berbeda dengan biasanya.

Mudah dimegerti kenapa jalan ke Lintau tiba-tiba berubah. Tentu saja karena ada “orang besar” yang mau lewat. Hal ini terjadi berkali kali. Sehingga ada orang Lintau yang bilang, “inilah untungnya Jusuf Kalla jadi wapres, sehingga kalau dia ke Lintau, jalan kita menjadi bersih seperti ini”. Berarti kalau JK tak pernah ke Lintau, jangan harap bertemu jalan yang nyaman sekaligus aman untuk ditempuh.

Saya tak kan bercerita tentang jalan ke Lintau ini lebih jauh. Namun yang ingin saya kritisi dari fenomena jalan ke Lintau ini adalah terkait dengan mentalitas para birokrat kita hari ini. Instansi terkait sangat perhatian dengan kenyamanan dan keselamatan rombongan wapres yang hanya numpang lewat beberapa menit, tapi seperti tak mau peduli dengan keselamatan “rakyat badarai” yang melewati jalan itu saban hari. Kalau begitu untuk apa masyarakat harus bayar pajak bangunan dan berbagai macam iuran kepada negara ini?

Zaman boleh saja berubah, rejim boleh saja berganti, tapi sepertinya mentalitas para birokrat kita tidak banyak mengalami perubahan. Kenyataan ini memaksa saya untuk tetap berkesimpulan bahwa birokrat kita masih terjangkiti virus “ABS” (Asal Bapak Senang). Sekalipun gerakan “good governance” telah dihembuskan sejak era reformasi bergulir, yang salah satu intinya adalah birokrat sesungguhnya pelayan rakyat, namun kecendrungannya sampai hari ini mereka masih saja lebih berkhidmat kepada atasan, sementara rakyat sering hanya dijadikan sebagai objek penderita.

Fenomena penyakit Orde Baru itu masih sering kita temui di banyak instansi pemerintah.yang lain. Sepertinya “permimpin adalah pelayan rakyat” hanyalah adagium kosong yang ada dalam teori buku buku tentang administrasi pemerintahan dan masih sangat jauh dari kenyataan.

Sampai hari ini betapa rakyat masih merasakan kesulitan berhubungan dengan aparat pemerintah. Jangankan untuk berharap kepada pemerintah agar memperhatikan kenyamanan fasilitas publik semisal jalan raya di atas, bahkan untuk mengurus selembar KTP, SIM, atau Surat Izin Usaha, kita tetap saja harus menunggu waktu yang lama kecuali kita harus bayar melebihi aturan yang sebenarnya. Birokrat kita masih mempraktekkan motto lama “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”, padahal seharusnya “kalau bisa dipermudah kenapa dipersulit”.

Namun potret buram birokrasi kita itu akan terlihat sangat berbeda takkala yang berurusan adalah “orang besar” atau pejabat penting. Semuanya terlihat begitu mudah dan bahkan sangat dipermudah. Sesuatu yang sebelumnya berbelit-belit, tiba-tiba bisa menjadi sangat sederhana. Kantor yang sebelumnya berantakan bisa kemudian menjadi sangat bersih tak kala ada “orang penting” datang. Pegawai yang sebelumnya malas-malasan bekerja akan terlihat sangat rajin apabila ada atasannya.

Pada sisi lain, para pejabat sepertinya begitu menikmati ketika dihormati berlebihan. Istri saya yang bekerja di rumah sakit pernah cerita ketika antrian berobat sedang panjang, tiba-tiba datang seorang pejabat juga untuk berobat. Tanpa merasa berdosa sang pejabat tersebut “menyerobot” antrian dan minta dilayani terlebih dahulu. Menyebalkan memang! Tapi itulah kenyataan mentalitas pejabat kita. Merasa paling pantas untuk dilayani dan diisetimewakan.

Kalau mentalitas ini tetap dipertahankan, maka harapan untuk mendapatkan pimpinan yang betul-betul berempati dengan nasib rakyat masih sangat jauh dari kenyataan. Karena itu diperlukan pergantian generasi kepemimpinan secepatnya. Kita merindukan sosok kepemimpinan Umar bin Abdul Azis yang sangat peka dengan hak-hak rakyatnya, kita mengimpikan sosok Abu Bakar Siddik yang siap turun di waktu malam memonitor rakyatnya, tentu saja kita sangat (sekali lagi sangat) mendambakan lahirnya pemimpin dengan sosok Rasulullah yang hidup sederhana dan mengabdikan semua detik kehidupannya untuk kemaslahatan ummatnya bahkan sampai beliau menjelang sakaratul maut. Tapi, sampai kapan? Wallahu a’lam.

*Afrianto Daud, Kandidat Master of Education, Monash University Australia