Pendidikan dan Masa Depan Bangsa

Pendidikan dan Masa Depan Bangsa


Oleh: Afrianto Daud
Tulisan ini diterbitkan sebagai Teras Utama di harian Padang Ekspres, Sabtu 6 Mei 2006

Hampir delapan tahun sudah bangsa ini hidup di bawah periode sejarah kebangsaan yang kita sebut dengan era reformasi. Sebuah era yang pada awalnya sangat diharapkan sebagai momentum bersejarah bagi bangsa besar ini untuk keluar dari krisis multi dimensi yang melandanya semenjak medio Mei 1998 yang lalu. Sebuah krisis yang didahului oleh krisis moneter dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, krisis kepercayaan, sampai krisis politik yang memaksa Suharto lengser dari “tahta” kekuasaannya setelah 32 tahun memerintah.

Namun, jujur harus kita akui bahwa sepertinya yang terjadi selama delapan tahun ini baru sebatas tergantinya rejim yang berkuasa, mulai dari Suharto ke Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Perubahan subtil dan sesungguhnya menuju terwujudnya Indonesia yang sejahtera masih sangat jauh dari harapan. Bangsa ini terus saja tenggelam dalam berbagai krisis itu, dan sepertinya belum memperlihatkan tanda-tanda yang meyakinkan tentang kapan kita akan bangkit dari keterpurukan ini.

Kita masih saja terperangkap dalam krisis ekonomi yang akut. Angka kemisikinan terus saja bertambah, angka pengangguran terus saja meningkat, tingkat kriminalitas juga semakin mengkhawatirkan, bahkan ada cukup banyak anak bangsa ini yang hanya untuk makan sehari saja mereka tidak punya. Belum lagi kita berbicara tentang krisis dalam dimensi lain, seperti dalam bidang hukum, sosial budaya, atau dalam bidang pendidikan.

Sampai kemudian ada yang bertanya dengan pesimis, apakah kita masih punya masa depan? Apakah Indonesia akan masih ada 25 tahun yang akan datang? Bahkan ada yang iseng berujar, perlukah tuhan mengirimkan “nabi baru” untuk memperbaiki bangsa yang rusak ini?

Saya berkeyakinan bahwa kita masih punya masa depan. Saya juga sangat yakin bahwa sesungguhnya negeri ini kaya dengan berbagai resources yang belum terkelola dengan baik. Lebih dari itu saya haqqul yakin bahwa kalau negeri ini dikelola dengan amanah, maka sungguh negeri ini bisa menjadi taman nan indah yang menyejukkan mata bagi setiap orang yang memandangnya.

Masalahnya dari mana kita memulai? Menurut saya pada momentum peringatan hari pendidikan nasional ini, dengan tidak bermaksud mengabaikan perbaikan pada sektor lain, kita harus meneguhkan kembali komitmen kita untuk menjadikan sektor pendidikan sebagai entry point perbaikan bangsa ini. Sebagai bangsa kita harus membangun pemahaman yang sama bahwa pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang yang tidak boleh, sekali lagi, tidak boleh, kita abaikan.

Belajar dari Malaysia

Sekalipun sesungguhnya kita pernah menjadi “guru” bagi Malaysia, ketika pada era tahun 1970-an ada banyak guru kita yang “diekspor” untuk mengajar di sana, tidak salah kalau sekarang kita melihat apa yang tengah terjadi di negeri “mantan murid” kita itu. Banyak orang percaya, keberhasilan Malaysia bangkit begitu cepat dari keterpurukan akibat pengaruh ekonomi global beberapa tahun lalu, salah satunya berkat andil besar dunia pendidikan yang mampu menghasilkan manusia-manusia berkualitas dan mandiri. Dengan kata lain, Malaysia sangat menyadari bahwa pendidikan merupakan sektor penting yang harus diperhatikan dalam proses pembangunannya.

Malaysia menjadikan kesadaran akan pentingnya pendidikan dalam proses pembangunan negeri itu tidak sekadar jargon, tetapi sejak beberapa tahun lampau kesadaran itu telah diwujudkan antara lain lewat penyediaan dana pendidikan yang cukup signifikan (hingga 23 persen dari total anggaran negara) untuk bidang ini. Sebuah angka anggaran yang tidak hanya tertulis dalam undang-undang, tapi real dikeluarkan sebagai budget penyelenggaraan sektor pendidikan di negeri jiran itu.

Ketika Indonesia masih berkutat pada upaya pemerataan pendidikan lewat pembangunan SD-SD Inpres, Malaysia sudah berbicara pada tataran peningkatan kualitas pendidikan. Ketika Indonesia masih disibukkan perdebatan soal "ganti menteri ganti kurikulum", Malaysia sudah menggagas apa yang mereka sebut pendemokrasian pendidikan. Lalu, ketika tokoh dan birokrat pendidikan di Indonesia sibuk berdebat tentang apa dan bagaimana sesungguhnya sistem pendidikan, Malaysia sudah bicara tentang bagaimana strategi mewujudkan suatu sistem pendidikan bertaraf internasional.

Dan itu tidak main-main. Keinginan untuk go international langsung dituangkan dalam rumusan misi utama Kementerian Pendidikan Malaysia, yang berbunyi, "Mewujudkan sistem pendidikan bertaraf dunia bagi merealisasikan potensi sepenuhnya setiap individu, di samping memenuhi aspirasi masyarakat Malaysia." (Kompas, 29/04/2004)

Kembali ke masalah anggaran, mudah dipahami bahwa konsekwensi logis dari tersedianya anggaran yang cukup ini adalah tersedianya iklim pendidikan yang kondusif di Malaysia. Termasuk dalam konteks ini terjaminnya kesejahteraan para guru yang mengajar di Malaysia. Maka tak heran, tidak seperti di Indonesia, di Malaysia jarang sekali terdengar aksi protes guru-guru yang berstatus pegawai kerajaan menyangkut aspek kesejahteraan.

Fenomena seperti itu juga mudah dipahami, karena dengan gaji 2.000 RM (1 RM = Rp 2.450) per bulan bagi guru yang baru diangkat, maka setiap guru tidak harus dipusingkan dengan permasalahan bagaimana mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan, di luar pendapatan rutin bulanan itu, pihak kerajaan masih memberi sokongan dan berbagai kemudahan bagi guru untuk menaikkan status sosial mereka. Pinjaman pembelian rumah dan kendaraan (baca: mobil), tentu saja dengan bunga yang amat rendah, bisa diperoleh guru setelah mengabdikan diri dalam rentang waktu tertentu kepada kerajaan. Penghargaan masyarakat kepada guru (warga setempat menyebutnya cekgu) juga cukup tinggi sehingga status sosial guru dalam kehidupan sehari-hari mendapat tempat terhormat.

Iklim yang demikian tentu amat mendukung lahirnya guru-guru yang profesional di bidangnya. Tanpa harus digembar-gemborkan pejabat yang berwenang, sebagaimana sering terdengar di negeri ini, profesionalitas di kalangan guru datang dengan sendirinya setelah kebutuhan dan penghargaan terhadap mereka diberikan pihak kerajaan dan stakeholders pendidikan.

Sisi lain dari bukti komitmen pemerintah Malaysia untuk membangun negeri mereka melalui sektor pendidikan adalah ketika pada era 1960-an hingga 1970-an, Malaysia banyak mengirim pelajar-pelajarnya ke lembaga pendidikan bergengsi di luar negeri, seperti Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Umumnya, sepulang dari belajar di luar negeri, mereka inilah yang kemudian menjadi pimpinan di banyak lembaga pemerintahan di negeri ini.

Ujung dari semua itu adalah sangat jelas bahwa kualitas pendidikan di negeri itu terus merangkak naik. Seiring dengan itu, kualitas sumber daya manusia di kalangan anak-anak negeri pun dengan sendirinya ikut terdongkrak, yang kemudian berimplikasi pada peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat umumnya. Pergerakan itu tercermin dari peringkat HDI Malaysia yang kini masuk dalam deretan negara-negara berkembang paling progresif, meninggalkan Indonesia!

Sekarang, setelah hampir 30 tahun berlalu, Malaysia berhasil menuai buah dari usaha yang mereka tanam. Bahkan, tak perlu heran kalau kini Malaysia sudah melesat meninggalkan "sang guru" yang justru masih asyik bermimpi tentang kejayaan masa silamnya. Bahkan, sekarang yang terjadi justru sebaliknya, kita yang balik belajar kepada "mantan murid" itu. Hali ini bisa dilihat ketika beberapa instutusi pendidikan di Wonogiri “mengimpor” guru Matematika dari Malayasia untuk mengajar Matematika di institusi mereka (Suara Merdeka, 05/04/2006)

Kita Juga Bisa

Saya pikir, inilah saatnya bagi semua elemen bangsa ini untuk meneguhkan kembali komitmen kita untuk bangkit dari keterpurukan ini. Telah datang waktunya bagi kita untuk membuktikan jargon bahwa pendidikan memang penting untuk membangun bangsa ini melalui realisasi alokasi anggaran minimal 20 persen dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan sebagaimana diamanahkan Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anggaran memang bukanlah segalanya, tapi saya berkeyakinan, dia adalah awal dari segalanya.

Dengan anggaran yang signifikan, ditambah komitmen bersama untuk membangun negeri ini melalaui investasi dalam jangka panjang, maka permasalahan klasik dunia pendidikan kita, seperti kurangnya professionalitas guru, terbatasnya sarana dan prasarana belajar, lemahnya disiplin para pendidik, yang semuanya bermuara pada rendahnya kualitas pendidikan nasional kita, insyaallah secara perlahan akan terminimalisir bahkan tereliminir sama sekali. Selamat memperingati hari Pendidikan Nasional. Kita masih punya masa depan. Yakinlah! Wallahu a’lam bissawab.
* Afrianto Daud adalah guru MAN 3 Batusangkar, sekarang sedang menempuh studi pasca sarjana di Monash University Australia.