Membangun Harapan di Tahun Baru

Oleh Afrianto Daud
(Diterbitkan sebagai Artikel Khusus di www.eramuslim.com , Senin 23 Januari 2007)


Optimisme is the path that leads to achievement. Nothing can be done without hope and confidence (Helen Keller)

Barangkali tidak berlebihan kalau ada ungkapan 'harapan adalah awal dari segalanya', karena sepertinya memang hidup dan kehidupan ini dibangun di atas batu bata harapan. Tumpukan batu bata yang tersusun menjadi cita-cita dan impian tentang masa depan yang lebih baik. Dari sinilah kemudian peradaban itu dimulai. Dari segumpal harap yang tumbuh dan berkembang menjadi bongkahan impian dan kemudian melahirkan berbagai bentuk bangunan peradaban yang menjadikan hidup lebih hidup.


Dengan demikian, peradaban manusia seperti yang kita lihat saat ini tak kan pernah ada, kalau manusia itu sendiri tidak pernah memiliki harapan. Kita tak kan pernah bertemu dengan kemajuan sains dan teknologi yang begitu mengagumkan seperti sekarang, misalnya, andai manusia, pelaku sains dan teknologi itu, tak berani membuat impian. Dalam konteks ini wajar kalau ada yang mengatakan bahwa kita harus berani bermimpi, karena hidup seringkali bermula dari sebuah impian.

Adalah suatu hal yang tak bisa dibantah bahwa harapan adalah sumber energi kehidupan yang karenanya hidup itu bisa bergerak dan berproduksi. Kalau tidak, maka kita penghuni kolong langit ini tak lebih dari 'mayat hidup', manusia yang secara fisik masih bisa bergerak, namun ruhnya tak lagi bisa menggerakkan kehidupan. Mereka yang tak lagi mampu berharap dalam hidupnya adalah mereka yang kemudian tak mampu memahami hakekat dan memainkan peran kehidupannya sebagai manusia secara utuh.

Dalam banyak penggalan kehidupan, barangkali cukup sering kita bisa meraskan betapa dahsyatnya kekuatan harapan ini. Betapa kita pernah merasakan bahwa ada energi yang mengalir deras dalam diri kita tak kala kita sudah mampu membangun harapan. Sebaliknya, betapa kemudian kita berubah menjadi seorang yang tak berdaya, ketika kita tergoda untuk membunuh dan mengubur harapan itu dalam hidup kita.

Saya sendiri cukup sering merasakan hal ini. Harapan yang kuat untuk sembuh telah memberikan kekuatan luar biasa kepada saya untuk berjuang dan berperang melawan saki tiga belas tahun yang lalu. Tak kala banyak orang di sekitar saya talah pasrah dengan penyakit yang menggerogoti saya selama hampir 6 bulan, saya justru dengan sabar tetap menanam dan menyiangi bibit harapan untuk sembuh itu setiap detik. Ya setiap detik. Bahwa saya harus sehat. Alhamdulillah, akhirnya bait-bait doa saya dikabulkan Allah SWT saat dokter akhirnya mengatakan bahwa saya sembuh.

Harapan untuk mengecap pendidikan tinggi telah membawa saya ke banyak jalan untuk menggapainya. Terlahir dari keluarga yang sederhana (baca: miskin) tidak membuat saya takut menanam harap bahwa saya harus kuliah. Saya bisa kalau saya mau. Demikian keyakinan saya. Sampai akhirnya dengan bayak cara, Allah permudah jalan saya menjadi sarjana pertama di keluarga besar saya dan insyaallah menjadi orang pertama yang (bakal) bergelar masters di kampung kecil saya. Alhamdulillah

Bagi seorang ayah, harapan untuk membangun masa depan keluarga yang lebih baik adalah sumber energi luar biasa untuk bertahan dan sabar dalam malakoni peran sebagai seorang ayah yang kadang tak mudah. Karena harapan inilah, seorang ayah (dan juga ibu) tak peduli dinginnya suasana malam, teriknya panas mentari atau lebatnya guyuran hujan saat mereka mencari nafkah demi anak-anak mereka tercinta. Demi sebuah penghidupan yang lebih baik. Demi menggapai sebuah harapan yang sudah ditanam. Energi seperti inilah kemudian yang bisa membuat seorang bapak/ibu mampu menikmati rasa capek setelah bekerja seharian.

Bangunan Harapan Seorang Muslim
Pada skala makro, akan ada banyak sekali variable yang menjadi titik pemicu seorang anak manusia dalam membangun harapan itu. Titik-titik itu bisa bersifat material (seperti keinginan untuk memiliki harta yang banyak dan keinginan untuk berkuasa) dan juga bersifat non-material (seperti harapan untuk membahagian seseorang yang dicintai).

Pertanyaannya, sebagai seorang muslim, apa seharusnya yang menjadi motivator utama bagi kita tak kala mulai membangun harapan itu? Jawabannya barangkali bisa kita lihat dari banyak kisah para sahabat dalam perjalanan sejarah Islam. Kalau kita teliti siroh rasul dan para sahabat dalam mendakwahkan Islam, misalnya, tak ragu kita untuk menyimpulkan bahwa harapan untuk mendapatkan ridho Allah lah yang membuat mereka menjadi seseorang yang begitu tegar mengarungi jalan dakwah yang seringkali menanjak dan berliku. Karena harapan inilah, misalnya Nabi Nuh as tak pernah berhenti menyeru ummatnya untuk menyembah Allah siang dan malam selama 950 tahun, sekalipun hanya berapa orang saja yang mau menerima seruan yang beliau sampaikan.

Karena harapan ini jugalah seorang Mushab bin Ummair tak gentar membuka ladang dakwah untuk pertama kali di kota Yastrib sendirian. Ya sendirian. Karena ini jugalah seorang Handzalah bin Abu Amir tanpa ragu meninggalkan kenikmatan malam pertama dengan istrinya tercinta dan kemudian memilih menjawab panggilan jihad yang diserukan Rasulullah SAW. Dan juga karena ini, seorang Syaid Qutb masih mampu tersenyum ikhlas penuh kemenangan pada detik-detik maut akan menjemputnya di tiang gantungan demi mempertahankan keyakinannya untuk tidak berdamai dengan penguasa yang zalim.

Akan kita temui ada begitu banyak kisah heroik dan mengagumkan dalam siroh para rasul dan sahabat ini. Kisah-kisah yang sekilas seakan utopis dan seperti hanya ada di negeri dongeng, namun kita yakin cerita tentang mereka adalah nyata adanya. Mereka adalah pelaku nyata kisah-kisah heroik dalam sejarah peradaban Islam itu. Apa yang membuat mereka menjadi tokoh-tokoh yang melegenda itu? Sekali lagi, jawabannya adalah karena mereka telah mampu membangun harapan (baca: mencari keredhaan Allah SWT).

Pendeknya, membangun harapan sepertinya adalah suatu hal yang perlu kita lakukan secara sadar dan terencana. Karena hidup hanya sekali, maka penting bagi kita untuk menulis naskah (harapan) kehidupan kita. Baik harapan sebagai seorang individu, sebagai anggota masyarakat, sebagai kepala keluarga, sebagai warga negara, sebagai bagian dari kaum muslimin, dan tentu sebagai seorang hamba Allah SWT. Karena pentingnya harapan ini dalam semua dimensi kehidupan kita, wajar kalau Allah SWT mengaitkan harapan ini dengan keimanan, yaitu ketika Allah mengharamkan hambaNya berputus asa dengan nikmat Allah (QS. 39:53).

Yah, sekali lagi, harapan memang bukan segalanya, tapi dia adalah awal dari segalanya. Maka oleh sebab itu, kita tak boleh berhenti untuk berharap. Kita tak boleh kehilangan keyakinan bahwa hasil yang kita dapatkan sesungguhnya berbanding lurus dengan usaha yang kita lakukan. Dan salah satu usaha itu adalah memantapkan fondasi bangunan harapan kita.

Namun demikian, tentu perlu juga diingat bahwa keputusan Allah lah yang berlaku di atas semua harapan itu. Keyakinan seperti ini juga penting, agar kita tidak terjebak menjadi seseorang yang kecewa berat tak kala harapan kita tak sesuai dengan kenyataan. Tak kala hasil yang kita peroleh tak seindah rencana bangunan harapan kita. Oleh karenanya, kita mesti menutup ungkapan harapan kita dengan kata-kata ‘semoga’ atau ‘mudah-mudahan’. Kita hanya bisa berencana (dan berusaha), pada akhirnya keputusan Allahlah yang berlaku. Wallahu a’lam.

* Penulis adalah presiden Monash Indonesian Islamic Society (MIIS) Melbourne Australia