Ujian Nasional dan Ketidakjujuran Itu


Saya tertegun dan tergugah ketika menyaksikan beberapa siswa SMK Dhuafa Padang menangis tersedu di televisi ketika melaporkan peristiwa ‘ketidakjujuran’ dan ‘ketidakadilan’ yang mereka alami saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN) kepada pejabat di Dinas Pendidikan Nasional Sumatera Barat pada hari Kamis, 19 April 2007. Saya juga salut dengan keputusan siswa yang hampir semua berasal dari kalangan tak mampu ini untuk menarik diri keluar (walkout) dan tidak meneruskan proses ujian yang mereka ikuti demi sebuah rasa keadilan yang mereka yakini, sekalipun dengan resiko terburuk, mereka terancam tidak lulus ujian.

Tulisan ini tak bermaksud mengatakan bahwa laporan para siswa SMK Dhuafa adalah benar adanya, biarlah para pihak berwenang menyelediki dan membuktikannya di lapangan, dan kalau terbukti kecurangan itu benar adanya, tentu pelakunya harus dihukum dengan hukuman yang setimpal, seperti janji gubernur Gamawan Fauzi bahwa pemerintah akan bertindak tegas terhadap siapa saja yang mencoba melanggar aturan main Ujian Nasional (Padang Ekspres, 16 April 2007)

Namun poin penting yang ingin saya sampaikan adalah bahwa (tanpa bermaksud menafikan usaha keras dan sungguh-sungguh banyak pihak agar UN tahun ini bisa berjalan dengan semestinya), kekhawatiran terjadinya ketidakberesan dan ketidakjujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional sangat mungkin bukanlah sebuah cerita kosong. Sepertinya sudah menjadi ‘rahasia publik’ bahwa selama ini ketidakjujuran itu, dalam berbagai bentuk dan karena berbagai alasan, selalu saja menjadi cerita tak sedap dikalangan insan pendidikan di tanah air setelah UN diselenggarkan setiap tahun. Ya, setiap tahun. (Baca tulisan St Kartono di harian Kompas, 22 Juni 2006)

Bentuk ketidakberesan itu beragam. Yang paling sering terjadi adalah seperti ada usaha sistematis dan terencana dari beberapa pihak terkait untuk “membantu” (saya lebih suka memakai istilah “menjerumuskan”) siswa agar bisa lulus UN. Seperti dikatakan Sugita (Kompas, 15 Agustus 2005), modus operandi ketidakjujuran itu bisa macam-macam, mulai dari mengatur posisi tempat duduk siswa (siswa pintar biasanya diposisikan di tengah dan “bertugas” membantu kawan-kawan di sekelilingnya), pengawas ujian yang sengaja “berbaik hati” membiarkan siswa saling contek, bocornya soal lengkap dengan kunci jawabannya sebelum hari H ujian, sampai dengan ikutnya guru memberikan kunci jawaban saat ujian berlangsung. Dan patut diduga bahwa “tercecernya” kunci jawaban yang ditulis di dinding toilet SMKN 5 Padang sangat mungkin bentuk lain dari modus operandi ‘ketidakjujuran’ itu.

UN sebagai High Stakes Testing
Mungkin ada diantara kita yang bertanya, kenapa sejarah ketidakjujuran dalam UN ini terus saja berulang. Salah satu jawabannya, saya pikir, bisa dengan menganilisa nature dari kebijakan UN ini. Kalau kita kaji perangkat aturan main yang ada dalam UN ini, maka mengacu pada teori dalam kajian tentang language testing and assessment, UN ini bisa dikelompkkan ke dalam apa yang disebut oleh McNamara (2002) dengan high stakes testing. Secara sederhana high stakes testing berarti sebuah bentuk ujian yang memiliki konsekwensi serius terhadap masa depan peserta ujian. Ujian Bahasa Inggris sejenis TOEFL, IELTS, dan TOEIC bisa termasuk kedalam kategori ini karena ujian itu bisa berfungsi sebagai ‘gatekeeper’ bagi seseorang untuk bisa mendapatan akses ke dunia kerja dan atau melanjutkan pendidikan.

Merujuk ke dalam pasal 4 Permendiknas No. 45 tahun 2006 yang menyebutkan bahwa hasil UN akan digunakan sebagai salah satu pertimbangan penentuan kelulusan peserta didik dari sebuah jenjang pendidikan dan pada saat yang sama digunakan sebagai pertimbangan untuk seleksi masuk jenjang berikutnya, maka sangat jelas bahwa UN ini memiliki konsekwensi sangat serius terhadap masa depan siswa. Tidak bisa mencapai skor minimal UN (tahun ini ditetapkan menjadi 5.00, dan kemungkinan akan terus bertambah dari tahun ke tahun) berarti tidak bisa tamat sekolah, tidak bisa mencari pekerjaan, dan tentu juga tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.

Belum lagi resiko psikologis lainnya berupa malu, tertekan, dan kehilangan muka yang harus ditanggung oleh banyak pihak, tidak hanya oleh siswa secara personal tapi juga oleh pihak sekolah dan semua jajarannya ketika seorang anak (atau banyak anak) tidak lulus UN. Semua kondisi di atas semakin menguatkan bahwa UN memang adalah ujian dengan efek sangat serius (high stakes test) terhadapa masa depan seseorang (baca: siswa).

Semua konsekwensi itu sangat mungkin ‘menghantui’ banyak pihak yang berkempentingan dengan kelulusan siswa dalam UN ini. Cukup banyak penelitian di luar negeri yang mengungkap efek buruk dari high stakes testing ini, diantaranya kajian yang dilakukan oleh Slone & Kelly (2003), Wright (2002), dan Stuart Yeh (2006). Hampir semua penelitian mereka mengkonfirmasi bahwa setiap jenis ujian yang high stakes cendrung membuat siswa, guru, dan orang tua cemas dan takut akan hasil ujian itu.

Di tanah air, keadaan ini diperparah oleh sistem reward pendidikan kita yang masih sangat bergantung pada angka-angka di atas kertas. Seorang kepala sekolah, misalnya, akan dianggap gagal memimpin sekolahnya (dan mungkin juga terancam untuk dimutasi) apabila persentase ketidaklulusan siswa sangat tinggi di sekolah yang dia pimpin. Sebaliknya sekolah yang mampu meluluskan semua siswanya dan memperoleh angka tinggi dalam UN, akan dianggap sebagai sebuah sekolah yang berhasil. Sekalipun, bisa saja, sama sekali tak ada korelasi positif antara keberhasilan seoarang anak setelah tamat SMA dengan angka-angka di atas kertas yang dia peroleh.

Saya berkeyakinan semua ketakutan dengan resiko inilah yang menyebabkan sebagian insan pendidikan kita berusaha dengan ‘segala cara’ agar dianggap berhasil dalam Ujian Nasional ini. Tentu bagus kalau perasaan khawatir dengan tingginya resiko tidak lulus UN ini diimplementasikan secara positif, misalnya dengan membentuk ‘tim sukses’ agar siswa mereka bisa lulus UN. Kelas tambahan, seperti intensive course di sore (bahkan malam) hari, dan tried out tentu adalah kegiatan yang sangat positif sebagai program ‘tim sukses’ ini. Namun kalau ‘tim sukses’ ini juga bekerja saat hari H ujian dengan ikut membahas soal dan kemudian membocorkannya kepada anak-anak, tentu sudah lain permasalahannya.

Adalah benar bahwa UN itu sendiri layak dipertanyakan tingkat keadilannya mengingat bobot dan muatan soal UN sama untuk semua siswa, padahal adalah kenyataan yang tak bisa dibantah tentang adanya disparitas kualitas sekolah yang sangat besar antar satu daerah dengan daerah lain di tanah air. Bahkan antar sekolah dalam sebuah daerah yang sama. Tapi, tentu saja, disparitas kualitas antar sekolah ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melegitimasi kecurangan dalam pelaksanaan UN. Menurut saya akan lebih terhormat bila sebuah sekolah (setelah berusaha maksmal mempersiapkan anak didiknya) menerima kenyataan anak didiknya tidak lulus ujian dengan kstaria, ketimbang bergembira melihat angka kelulusan yang fantastis, padahal sebenarnya palsu.

Epilog
Ke depan, agar cerita tentang ketidakjujuran ini tidak terus berulang, harus ada upaya komprehensif dari semua pihak untuk mencegahnya. Selain dengan membangun mentalitas sportif dari semua pihak, memberdayakan tim pemantau secara maksimal, saya pikir perlu juga dipikirkan kemungkinan mengurangi konsekwensi serius dari hasil UN ini. Dalam konteks ini, pemikiran beberapa kalangan yang menghimbau pemerintah untuk hanya menjadikan nilai UN sebagai salah satu mekanisme kontrol dan pemetaan kualitas pendidikan nasional sepertinya sangat layak dipertimbankan (Kompas, 9 Mei 2006) Selanjutnya, berdasarkan hasil pemetaan tersebut, pemerintah memperbaiki dan meningkatkan jaminan akses, proses, biaya, sarana yang memengaruhi mutu pendidikan

Kalau ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN setiap tahun terus berlanjut, kita tak dapat bayangkan bagaimana nasib masa depan pendidikan kita pada masa yang akan datang. Tentu, kita sepakat bahwa sungguh sangat disayangkan, kalau sebuah perhelatan besar dunia pendidikan kita seperti UN yang menelan biaya hampir 244 miliar ini hanya akan menghasilkan generasi bermental pembohong yang suka jalan pintas dengan menghalalkan segala cara. Kisah sedih ini tak boleh lagi terulang. Sekali lagi, ‘tak boleh’. Wallahu a’lam

* Afrianto Daud, guru MAN 3 Batusangkar dan kandididat Master of Education di Monash University Australia. Penulis bisa dihubungi di anto_pasisia[at]yahoo.com
(Tulisan ini diterbitkan harian Padang Ekspres, Senin 23 April 2007)