Sekali Lagi, Tentang Dampak Buruk Ujian Nasional


Oleh: Afrianto Daud*


(Tulisan ini diposting juga di webblog Dinas Pendidikan Sumatera Barat, 26 Maret 2008)


Walaupun hujan kritik terhadap pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sampai detik ini tidak pernah berhenti, pemerintah tetap jalan dengan rencana mereka. Pemerintah seperti tuli atau pura-pura tak mendengar berbagai suara sumbang dari banyak kalangan terkait kebijakan UN (yang belum tentu bijak ini). The show must go on. Kira-kira begitu motto pemerintah (dan juga BSNP sebagai penyelenggara) dalam menjalankan UN, walaupun pada saat yang sama ada fakta yang tak bisa dibantah bahwa sudah banyak korban berjatuhan akibat pelaksanaan kebijakan UN yang kontroversial dalam beberapa tahun belakangan ini.
Sebahagian korban UN itu dulu bahkan pernah mengugat pemerintah (presiden, wakil presiden, mendiknas, dan kepala BSNP) ke pengadilan. Beberapa substansi gugatan law suit masyarakat yang dipimpin artis Sophia Latjuba itupun dikabulkan majelis hakim, dengan menyatakan bahwa dalam konteks UN pemerintah jelas bersalah, karena telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negaranya. Pengadilan juga memerintahkan kepada para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru dan sarana-prasarana sebelum melaksanakan kebijakan UN.
Tahun ini, boro-boro berharap pemerintah membatalkan pelaksanaan UN, pemerintah justru terkesan ‘semakin bersemangat’ dengan pelaksanaan UN ini. Hal ini bisa terlihat ketika Mendiknas mengeluarkan Permendiknas No. 34 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UN 2008. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya menguji tiga mata pelajaran, sekarang pemerintah menambah tiga lagi mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional 2008. Tidak hanya itu, angka rata-rata kelulusan minimal tahun inipun meningkat dari tahun sebelumnya. Seperti tertera dalam Pasal 15 Permendiknas No.34/2007, tahun ini untuk bisa lulus UN seorang siswa harus memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 dengan tidak ada satupun nilai mata ujian dibawah 4,25.


Berpotensi Menjadi ‘Bom Waktu’
Walaupun pemerintah tak bergiming, sebagai praktisi pendidikan saya juga tak kan pernah berhenti menyampaikan pandangan saya tentang UN ini. Menurut saya UN lebih banyak memberikan dampak negatif terhadap dunia pendidikan kita. Saya meyakini bahwa jika UN dengan sistem seperti selama ini dipertahankan, UN berpotensi menjadi ‘bom waktu’ dunia pendidikan kita, sebuah bom waktu yang kalau tak dijinakkan secepatnya, suatu saat bisa meledak dan akan memakan korban lebih banyak lagi.

Studi kualitatitif tentang bagaimana guru mempersepsi UN yang saya lakukan dengan mewawancarai beberapa orang guru yang mengajar di kelas XII pada 6 SMA/Madrasah di Tanah Datar pada tahun 2007 menunjukkan bahwa mayoritas guru menolak pemberlakuan UN ini. Walaupun para guru ini mengatakan bahwa UN dalam batas-batas tertentu telah memotivasi mereka untuk bekerja lebih keras, lebih separuh dari mereka berpendapat bahwa UN berdampak buruk, tidak hanya pada proses belajar mengajar dan kurikulum, tetapi juga berdampak negatif pada pribadi guru dan siswa.

Hampir semua partisipan penelitian saya mengungkapkan bahwa UN, sebagai sebuah test berkategori high stakes testing (ujian yang memberi dampak serius terhadap masa depan siswa), telah memaksa para guru itu untuk melakukan aktifitas teaching to the test. Yaitu sebuah aktifitas pengajaran yang memfokuskan pembelajaran pada usaha membiasakan anak didik mengenali dan familiar dengan bentuk soal UN, dan mengajarkan bagaimana strategi menjawab soal dalam tempo sesingkat-singkatnya. Dengan kata lain, ketika guru menyesuaikan proses pembelajarannya dengan UN, biasanya mereka cendrung lupa (baca: tak sempat lagi) melakukan proses belajar mengajar ideal sebagaimana tertulis dalam kurikulum.

Dengan demikian, guru hanya akan mengajarkan beberapa topik dan atau kompetensi yang (berdasarkan panduan SKL) diprediksi bakal keluar dalam UN, dan kemudian cendrung mengabaikan kompetensi lainnya yang diperkirakan tak akan diujikan dalam UN, walaupun sangat mungkin kompetensi itu sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari pasca anak didik keluar dari ruangan ujian. Dalam pengajaran Bahasa Inggris misalnya, hampir bisa dipastikan bahwa guru hanya akan lebih fokus mengajarkan dua skill saja (listening dan reading) menjelang UN, karena dua skill inilah yang diuji dalam UN. Dengan demikian para guru bahasa Inggris cendrung mengabaikan pengembangan skill yang lain, seperti speaking dan writing, walaupun sangat jelas bahwa kemampuan berkomunikasi lisan dan juga tulisan adalah skill yang sangat penting dan diperlukan dalam dunia yang sebenarnya setelah siswa tamat sekolah.

Lebih jauh, UN juga berpotensi menyempitkan kurikulum sekolah (curriculum narrowing) dan mendegradasi arti penting mata pelajaran tertentu, karena UN selama ini hanya menguji tiga mata pelajaran (dan sekarang ditambah menjadi enam). Walaupun mata ujian UN telah ditambah menjadi enam, tetap saja kesan bahwa pemerintah mengabaikan mata pelajaran lainnya tak terselesaikan. Pemilihan beberapa mata pelajaran saja yang diujikan di UN bisa misleading, karena secara tak langsung merefleksikan bahwa mata pelajana non UN adalah ‘kurang penting’. Padahal seseorang anak didik tidak bisa hidup hanya dengan beberapa mata pelajaran yang diUN kan saja.

Kenyataan ‘diabaikannya’ mata pelajaran ‘non-UN’ berpotensi memunculkan masalah lain, sepertinya turunnya motivasi guru mata pelajaran terkait untuk melakukan proses pembelajaran secara maksimal. Penurunan motivasi juga bakal terjadi pada kalangan siswa. Untuk apa harus capek belajar Sejarah, misalnya, toh nanti juga gak bakal diujikan pada UN. Untuk apa harus berjibaku menghapal Quran dan Hadits (bagi siswa madrasah), toh pengaruhnya terhadap kelulusan UN tak sekuat enam mata pelajaran lainnya.

Sekali lagi, pemahaman seperti ini jelas misleading. Karena di dunia sebenarnya, seseorang mesti punya multi skill untuk bisa sukses dalam hidup. Siapa yang membantah bahwa banyak orang sukses di dunia olahraga dan kesenian, walapun mungkin nilai Matematikanya tak terlalu bagus ketika di sekolah. Ada segudang cerita sukses sebagian anak bangsa kita di dunia seni. Tapi, kenapa UN tak melirik mata pelajaran olahraga dan kesenian?
Sisi lain yang cukup serius yang dikonfirm dalam penelitian saya adalah UN telah membuat para siswa, guru, dan orangtua merasa tertekan, dan stress. Rasa tertekan di kalangan siswa dan guru itu biasanya lebih parah terjadi di sekolah yang lokasinya jauh dari ‘pusat peradaban’ (baca: daerah terpencil). Hal ini mudah dipahami karena disparitas kualitas pengajaran antara sekolah di daerah urban (perkotaan) dengan dengan daerah rural (perkampungan) masih menjadi problema dunia pendidikan kita yang sampai hari ini belum terselesaikan. Maka, ketika standar kelulusan UN menuntut sama untuk semua siswa, tanpa mempertimbangkan objektifitas kualitas pengajaran di sekolah mereka, maka jelas para siswa, guru, dan juga orangtua di daerah terpencil akan merasa tertekan, stress, takut, dan bahkan putus asa perihal kelulusan mereka pada UN.

Patut diduga bahwa kecemasan seperti inilah kemudian yang membuat sebagian (besar) dari mereka tergoda untuk mencari short cut, jalan pintas untuk menembus batas nilai minimal kelulusan UN, dengan berlaku curang pada pelaksanaan UN. Dan cerita tentang ketidakjujuran ini telah menjadi ‘kisah sedih tahunan’ pasca pelaksanaan UN di negeri ini. Ya, setiap tahun kita melihat parodi ketidakjujuran itu dipertontonkan oleh sebagian insan pendidikan kita. Sebuah kisah ketidakjujuran yang membuat wajah pendidikan nasional kita semakin buram.

Epilog
Merujuk pada gejala dampak buruk akibat pemberlakuan UN di atas, jelas semua itu bisa menjadi ‘bom waktu’ yang berpotensi merusak bangunan pendidikan nasional kita suatu saat. Karenanya mendesak diperlukan tim ‘penjinak bom’ yang professional secepatnya. Pertanyaannya, siapa, darimana, dan kapan mereka akan datang? Wallahualam.


* Penulis adalah guru MAN 3 Batusangkar, alumni Fakultas Pendidikan Monash University Australia