Mencari Hubungan UN dan SNM-PTN

Mencari Hubungan UN dan SNM-PTN

Oleh : Afrianto Daud
(Guru MAN 3 Batusangkar, alumni Fakultas Pendidikan Monash Universty Australia.)\


Artikel ini diterbitkan harian Padang Ekspres, Rabu, 11 Juni 2008


Para siswa kelas XII SLTA di tanah air hari ini sedang menunggu pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) 2008. Dijadwalkan pengumuman kelulusan ini akan disampaikan pemerintah (atau BSNP sebagai penyelenggara) pada pertengahan Juni 2008. Kalau mereka mampu mencapai syarat minimal kelulusan, maka para siswa SLTA ini berhak dinyatakan lulus dan mendapatkan Ijazah SLTA. Ijazah ini biasanya dilengkapi dengan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHU) yang berisi daftar nilai hasil pelaksanaan UN.

Setelah itu, para siswa ini akan memulai episode baru. Tentu saja, sebagian besar dari mereka kemudian akan disibukkan dengan urusan melanjutkan studi ke bangku perguruan tinggi. Dengan demikian, setelah lepas dalam persiapan panjang yang mungkin melelahkan ketika akan menghadapi UN beberapa bulan yang lalu, sekarang mereka harus kembali mempersiapakan diri untuk menghadapi satu ujian yang tak kalah penting, yang sekarang bernama Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri/SNM-PTN (dulu SPMB).


Sampai di sini, kalau kita ingat betapa banyak energi yang telah kita habiskan dan betapa seriusnya segenap insan pendidikan di tingkat menengah dalam menghadapi UN, maka sangat pantas kalau hari ini kita bertanya (untuk tidak menyebut ’mempertanyakan’) bagaimana hubungan UN dengan SNM-PTN. Apa ada manfaatnya sukses pada UN dengan kesuksesan pada ujian untuk menembus perguruan tinggi?


Pada kenyataannya, untuk bisa menembus ujian masuk perguruan tinggi (semisal SNM-PTN), para tamatan SLTA ini harus kembali berjuang dan bersaing dengan ribuan pelamar setanah air. Sesorang siswa yang sukses melewati UN bisa saja tidak lulus ujian SNM-PTN, apabila yang bersangkutan tidak bisa melewati ambang batas nilai yang ditetapkan perguruan tinggi yang dilamar atau nilai ujian mereka kalah bersaing dengan pelamar yang lain. Kalau ini terjadi, maka impian mereka untuk melanjutkan pendidikan ke perguran tinggi idaman bakal sirna.


UN Tak Dianggap?
Sebagai ujian berskala nasional yang dianggap sangat penting dalam proses evaluasi belajar di tingkat SLTA, nilai UN selama ini seperti tidak ada manfaatnya ketika seorang siswa ingin melanjutkan ke tingkat pendidikan tinggi. Walaupun pasal 3 Permendiknas RI No. 34 tahun 2007 menyebutkan bahwa hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk masuk jenjang pendidikan berikutnya, namun sampai hari ini perguruan tinggi (baik negeri maupun swasta) tetap memilih untuk mengadakan ujian lagi untuk menseleksi calon mahasiswa mereka. Bahkan, seorang siswa sekarang bisa mengikuti seleksi ujian masuk PTN/PTS tanpa harus mensyaratkan mereka memiliki Ijazah Kelulusan.


Dengan demikian, hasil UN mereka sama sekali tidak menjadi pertimbangan.Realitas ini tentu terkesan ironis. Bukankah UN diselenggarakan pemerintah dengan berbagai sistem pendukung yang terus menerus diperbaiki kualitasnya. Bukankah juga UN adalah (salah satu) alat ukur keberhasilan seorang anak didik di jenjang SLTA (minimal pada bidang studi yang diujikan). Dengan demikian, kalau hasil ujian itu valid, maka seharusnya hasilnya sangat layak dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan diterima atau tidaknya seorang calon mahasiswa di sebuah perguruan tinggi.


Kenyataan ’tidak dianggapnya’ nilai UN dalam seleksi penerimaan mahasiswa bisa disebabkan beberapa faktor. Selain faktor ekonomi, karena bagaimanapun SNM-PTN bisa mendatangkan pemasukan keuangan yang tidak sedikit kepada perguruan tinggi, tidak satunya visi dan pengelolalan pendidikan menegah dan perguruan tinggi bisa jadi menjadi sebab lain. Bahwa ada missing link dalam sistem pendidikan menengah kita dengan perguruan tinggi. Dunia pendidikan tinggi berjalan dengan logikanya sendiri, dan pengelola pendidikan menengah juga berjalan dengan caranya sendiri.


Di sisi lain, kenyataan ini bisa merefleksikan fenomena lain, bahwa dunia perguruan tinggi kita seakan tidak percaya pada validitas hasil UN sebagai alat ukur keberhasilan anak didik di sekolah. Perguruan tinggi kita tidak yakin dengan aspek predictive validity UN, bahwa tingginya nilai seorang siswa dalam UN bisa digunakan sebagai alat prediksi bahwa siswa yang bersangkutan bisa sukses atau tidak di jenjang pendidikan berikutnya.


Belajar dari VCE di Victoria
Dalam konteks menjawab pertanyaan bagaimana hubungan UN dengan SNM-PTN, sekaligus mencari solusi alternatif dari kontroversi yang tengah berlangsung tentang palaksanaa UN di Indonesa, tidak salah kalau kita melihat bagaimana Australia mengatur sistem evaluasi pendidikan mereka. Australia sebagai negara federal tidak mengenal sebuah sistem ujian yang berskala nasional, seperti halnya UN yang kita miliki. Sistem evaluasi pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada state (negara bagian) sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka masing-masing.


Negara bagian Victoria, misalnya, membuat kebijakan bahwa seorang siswa yang duduk di pendidikan menengah (secondary education) harus mengikuti dan lulus pada separangkat ujian berstandar untuk mendapatkan sebuah sertifikat kelulusan yang dikenal dengan Victoria Certificate of Education (VCE). Kebijakan ini sepintas agak mirip dengan UN yang kita miliki. Namun sesungguhnya ada banyak perbedaan anatara UN dan VCE. Selain berbeda dalam skala ujian, yang tidak berlaku secara nasional, ujian ini juga berbeda dalam hal timing (waktu pelaksanaan).


VCE dilaksanakan pada dua pilihan waktu, yaitu kelas XI dan kelas XII. Mereka yang sudah menacapai standar nilai tertentu pada ujian di kelas XI, tidak harus mengikuti kembali pada kelas XII, kecuali bagi mereka yang ingin memperbaiki nilai.


Beda yang paling penting adalah bahwa nilai VCE otomatis bisa digunaka para tamatan High Schools untuk masuk perguruan tinggi yang mereka inginkan, termasuk juga untuk memasuki dunia kerja dan pelatihan. Biasanya nilai VCE dan nilai keseluruhan seorang siswa selama di high school dirangking oleh satu badan yang dikenal dengan Victorian Tertiary Admission Centre (VTAC). Badan ini bertugas membantu perguruan tinggi menseleksi mahasiswa, VTAC membuat pengukuran menyeluruh atas prestasi setiap siswa selama ia belajar di Kelas 12. Ukuran menyeluruh ini disebut Equivalent National Tertiary Entrance Rank (ENTER).


Perguruan tinggi kemudian menjadikan perangkingan ini sebagai dasar penerimaan seorang calon mahasiswa di perguruan tinggi. Dengan kata lain, universitas tidak lagi mengadakan ujian sendiri untuk menselekasi tamatan high school itu. Perguran tinggi terbaik di Victoria, seperti Melbourne University, Monash University, dan Victoria University biasanya mensyaratkan siswa dengan nilai tinggi pada VCE. Maka, siswa yang memperoleh nilai terbaik, hampir bisa dipastikan akan bisa diterima di universitas yang mereka inginkan.


Epilog
Mengingat UN dipandang sangat penting dalam proses pendidikan seorang anak didik di pendidikan menengah, adalah sangat layak kalau ke depan perlu dicarikan jalan agar hasil UN bisa menjadi pertimbangan diterima tidaknya seorang calon mahasiswa di perguruan tinggi. Sistem VCE di Victoria barangkali bisa dijadikan satu alternatif yang baik. Kalau tetap seperti selama ini, maka sungguh amat disayangkan kalau (hasil) UN yang penyelenggaraannya sampai menghabiskan uang negara hampir 1 triliun itu (termasuk untuk UN SD dan SLTP) hanya digunakan sekedar menyatakan seorang ‘lulus atau tidak’ dari SLTA. Kalau begitu, bukan tidak mungkin, penolakan akan pelaksanaan UN dari waktu ke waktu akan semakin gencar terdengar. Wallahu a’lam. (***)
'Manajemen Curiga' Dalam Ujian Nasional

'Manajemen Curiga' Dalam Ujian Nasional

Oleh: Afrianto Daud,
Guru MAN 3 Batusangkar dan alumni Fakultas Pendidikan Monash University Australia
(Artikel ini diterbitkan Padang Ekspres, Senin, 05 Mei 2008)

’Manajemen berbasis curiga’ (’suspicious-based management’) sesungguhnya sudah sangat lama dipraktekkan dalam administrasi negeri kita. Beberapa aturan main dalam budaya administrasi kita merefleksikan ’manajemen curiga’ ini. Kewajiban penggunaan cap/stempel pada setiap dokumen resmi di Indonesia adalah salah satu bentuknya. Penggunaan stempel ini tentu dimaksudkan untuk memastikan bahwa sebuah surat/dokumen adalah benar-benar asli. Dengan kata lain, aturan ’wajib stempel’ ini dibikin untuk nengantisipasi kekhawatiran (baca:kecurigaan) pihak terkait agar seseorang tidak dengan mudah membuat surat atau dokumen palsu (walaupun sesungguhnya membuat stempel palsupun di Indonesia bukanlah sesuatu yang sulit).

Aturan wajib legalisir fotokopi sebuah dokumen resmi adalah contoh lainnya. Dokumen penting, seperti ijazah, sertifikat tanah, transkrip nilai, dan yang sejenisnya tidak akan bisa digunakan untuk mengurus sebuah keperluan, apabila tidak dilengkapi dengan pernyataan pejabat berwenang bahwa dokumen yang bersangkutan adalah sesuai dengan bentuk aslinya.

Sebagaimana halnya cap stempel, legalisir ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa dokumen itu bukanlah dokumen palsu. Legalisir menjawab kecurigaan atas seseorang yang bisa saja memalsukan dokumen itu. gak berbeda dengan negeri kita, di luar negeri, seperti Australia, penggunaan stempel tidak menjadi kultur dalam administrasi negeri Kangguru ini. Makanya, tidak heran kalau dokumen sangat penting, seperti ijazah sebuah perguruan, hanya dibubuhi tanda tangan pimpinan, dan sama sekali tidak memiliki cap stempel. Merekapun tidak mengenal legalisir ijazah, dan sejenisnya. Dengan demikian, ketika kita ingin menggunakan dokumen-dokumen penting itu, kita cukup memfotokopinya. Dan tak satu orangpun kemudian akan mempertanyakan kesusuaian foto kopi dokumen itu dengan yang asli.

UN dan Manajemen Curiga

Hari ini bentuk ’menajemen curiga’ ala pemerintah Indonesia itu juga lahir dalam bentuk lain. Beberapa kebijakan terkait penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) sepertinya tak terlepas dari aura kecurigaan itu. Keputusan pemerintah untuk melibatkan mereka yang selama ini berada di ’luar sistem’ pendidikan, seperti kepolisian dan lembaga pemantau independen, bisa jadi sangat terkait dengan besarnya ketidakpercayaan (baca: kecurigaan) pemerintah terhadap tenaga pendidik dan kependidikan sebagai penyelenggara UN selama ini.

Keterlibatan pihak kepolisian tidak hanya pada pengawasan proses percetakan soal, tapi sampai pada penyerahan soal ke pihak sekolah dan saat ujian berlangsung. Yang paling menarik adalah, sebelum soal UN sampai ke sekolah, soal-soal ini diinapkan di kantor kepolisian terdekat. Pemerintah sepertinya sangat yakin, bahwa pihak kepolisian tak mungkin akan membocorkan rahasia negara ini. Pada saat yang sama bisa dipahami bahwa pemerintah sudah tak lagi percaya kepada pihak sekolah bakal bisa menjaga kerahasiaan ini.

Keterlibatan lembaga pemantau independen pada pelaksanaan UN juga bisa dimasukkan dalam konteks ’manajemen curiga’ ini. Sebagaimana halnya pihak kepolisian, tim pemantau independen ini tidak hanya bertugas mengawasi prosesi percetakan soal UN, tapi (yang paling penting) juga sampai pada mengawasi pelaksanaan UN pada hari H. Tim ini bertugas layaknya ’wasit’ yang memperhatikan dan menilai apakah sebuah permaianan berjalan secara fair atau tidak.

Tidak hanya itu, Prosedur Operasional Standar (POS) UN 2007/2008 juga memberikan tekanan khusus pada salah satu item aturan tata tertib pelaksanaan UN. Mulai tahun ini, proses pemasukan Lembar Jawaban UN ke dalam amplop dan melakban amplop harus dilakukan sendiri oleh pengawas ujian di dalam ruang ujian dan dengan disaksikan oleh Tim Pemantau Independen. Pada tahun sebelumnya, ceking akhir Lembar Jawaban ini biasanya dilakukan oleh panitia pelaksana ujian di sekolah di ruang panitia.

Kalau kita bertanya, kenapa tiga poin di atas menjadi kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Ujian Nasional tahun ini. Sekali lagi, saya pikir aturan ini tidak dipisahkan dari besarnya ’kecurigaan’ pemerintah kepada berbagai pihak terkait, terutama guru dan sekolah, akan adanya kemungkinan mereka untuk melakukan tindak kecurangan pada pelaksnaan Ujian Nasional. Kecurigaan ini sebenarnya sangat beralasan, karena cerita tentang ketidakjujuran ini telah menjadi cerita tahunan yang senantiasa terdengar setelah pelaksanaan Ujian Nasional berakhir. Tiga poin yang dibicarakan di atas adalah tiga tempat yang berpotensi menjadi lubang untuk melakukan kecurangan dalam UN selama ini (Baca tulisan St Kartono di harian Kompas, 22 Juni 2006).

Dengan demikian, keterlibatan lembaga kepolisian dan lemabaga pemantau independen diharapakan bisa mencegah dan meminimalisir kemungkinan terjadinya kecurangan di masa yang akan datang.

Guru Tak Pantas Dicurigai?

Di atas kertas, sesungguhnya para pendidik ini tak pantas dicurigai. Karena sebagai seorang pendidik, tentu para guru tahu bahwa mereka adalah bagian diantara mereka yang bertanggung jawab menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran dalam kehidupan. Para guru adalah mereka yang berada di garda terdepan dalam mentransfer nilai-nilai kejujuran kepada siswa. Sebuah nilai yang bakal menjadi modal utama bagi seorang siswa kelak ketika menjalani kehidupan yang sebenarnya.

Sekali lagi, guru sesungguhnya tak pantas dicurigai berlebihan. Pelibatan kepolisian yang mengawal pelaksanaan UN sampai ke sekolah seperti telah menempatkan para guru ini sebagai pelaku tindak kriminal yang gerak-geriknya harus diawasi, bahkan (hampir) sampai ke ruang-ruang kelas ujian. Kecurigaan berlebihan ini, bahkan sampai menurunkan angkatan kepolisian sekelas Densus Antiteror 88, tidak hanya secara tidak langsung telah menjatuhkan wibawa guru sebagai pendidik, tapi juga telah memproklamirkan ’kepada dunia’ bahwa dunia pendidikan kita (baca: sekolah) seolah dihuni oleh kumpulan preman pembuat makar kejahatan. Ironis memang!
Namun demikian, sepertinya pemerintah tentu tak sepenuhnya bisa disalahkan. Karena setiap tahun cerita ketidakjujuran yang dilakukan oknum guru dalam pelaksanaan UN terus saja berulang. Tahun ini tetap terdengar ada guru yang membiarkan siswanya saling contek saat ujian. Ada guru yang membantu siswa saat ujian. Bahkan, sampai tulisan ini dibuat, sedikitnya ada 4 kepala sekolah dan 26 guru harus ditangkap pihak keamanan dan berurusan dengan pihak kepolisian karena diduga membocorkan soal ujian pada pelaksanaan UN kemaren. (Suara Pembaharuan, 25/04/2008)

Epilog
Sebagai kebijakan nasional yang masih diperdebatkan, seyogianya UN dilaksanakan dengan format yang relatif bisa diterima oleh banyak pihak, terutama guru dan pihak sekolah. Saling mencurigai yang berlebihan jelas tidak akan membuat UN kepada susana yang lebih kondusif. Di satu sisi, guru harus menjalankan profesionalisme keguruanya secara baik, salah satunya dengan cara menempatkan kejujuran sebagai dasar menjalankan tugas sebagai penyelenggara UN, dan di sisi lain pemerintah tidak perlu overacting dalam mencurigai para guru di lapangan. Dibutuhkan konsep penyelenggaraan yang relatif lebih berterima oleh banyak pihak dalam teknis penyelenggaran UN mendatang. Wallahu a’lam. (***)