Eksistensi Guru di Era Kecerdasan Buatan

Eksistensi Guru di Era Kecerdasan Buatan

Oleh: Afrianto Daud

(Associate Professor, Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Riau)


Guru adalah profesi tertua di dunia. Dia adalah ibu dari segala pekerjaan. Profesi lain seperti dokter, pengacara, insinyur, akuntan dan banyak lagi yang lain tidak akan pernah ada tanpa keberadaan guru. Walau guru adalah profesi yang jasanya sering dibalas tak setimpal, merekalah yang sesungguhnya berperan penting memastikan bahwa peradaban terus berlangsung dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Merekalah pahlawan di balik rancang bangun kemajuan setiap bangsa di sepanjang empat ribu tahun lebih umur peradaban manusia.


Sekalipun posisi guru akan tetap ada saat ini dan di masa depan, eksistensi guru sesungguhnya sedang mengalami ancaman dan tantangan baru. Tantangan eksistensial guru terutama terjadi di era teknologi digital sebagai bagian dari revolusi industri 4.0, yang secara massif mentransformasi banyak sektor kehidupan, termasuk sektor pendidikan. Jika dulu guru dianggap sebagai sumber satu-satunya pengetahuan, saat ini sumber pengetahuan menjadi sangat beragam. Siswa, misalnya, dengan mudah memperoleh informasi dan pengetahuan dari berbagai macam platform digital, seperti dengan cara bertanya melalui banyak search engine di internet, website, media sosial, dan platform online lainnya.

Tidak hanya massifnya berbagai platform pembelajaran online, belakangan juga muncul fenomena artificial intelligence/ AI (kecerdasan buatan). Ada banyak sekali AI saat ini yang siap membantu manusia, termasuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan manusia. Seorang siswa dengan mudah bertanya kepada ChatGPT, misalnya, jika ingin tahu jawaban tentang sebuah topik. Tidak seperti guru manusia yang tak selalu bisa diakses siswa, AI seperti ChatGPT siap melayani pertanyaan seorang siswa kapan saja, tanpa lelah.

Selain bisa belajar melalui eksplorasi perangkat digital dan AI, saat ini siswa juga bisa belajar secara mandiri melalui platform belajar lain seperti program MOOC (Massive Open Online Courses). Platform seperti Coursera, U-Demy, Khan Academy dan banyak lainnya bisa melayani siswa belajar banyak hal secara mandiri. Berbayar ataupun tidak.

Masifnya platform pembelajaran yang difasilitasi internet dan juga menjamurnya berbagai robot pintar berbasis AI di atas bisa mengancam eksistensi guru yang selama ini diindentikkan dengan sumber ilmu pengetahuan. Oleh karena itulah, perkembangan teknologi berbasis machine learning itu dalam batas tertentu bisa saja mengancam eksistensi guru, bahkan bisa mengambil alih kerja-kerja yang selama ini dilakukan guru konvensional. Peran guru dalam hal menjelaskan pelajaran, mentransfer pengetahuan, berceramah di depan kelas, misalnya, adalah diantara kegiatan guru yang saat ini sudah semakin tidak relevan.


Reposisi dan Transformasi Peran Guru

Reposisi peran guru dan transformasi mindset guru adalah harga mati agar eksistensi guru masih tetap relevan di zaman ketika pengetahuan ada di ujung-ujung jari manusia seperti saat ini. Reposisi utama adalah terkait peran guru yang sebelumnya sebagai knowledge transmitter atau sebagai sumber belajar utama di dalam kelas, menjadi lebih sebagai fasilitator dan manager pembelajaran siswa. Ini berarti bahwa guru harus lebih banyak mendesain bagaimana siswa belajar secara aktif melalui pendekatan pembelajaran inovatif, seperti problem based learning, project based learning, case based methods, discovery learning, dan sejenisnya. 

Desain proses pembelajaran aktif tidak hanya akan membuat eksistensi guru tetap relevan, tetapi juga memungkinkan siswa untuk mengembangkan banyak kompetensi yang saat ini dibutuhkan di abad 21, seperti kemampuan untuk memecahkan  masalah, kreatifitas, berfikir kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, dan berempati dengan masalah sosial dan kehidupan di sekitar mereka.

Selain berperan sebagai fasilitator dan manager pembelajaran siswa, guru abad ini juga harus mengambil peran yang tak bisa dilakukan teknologi. Diantaranya adalah peran sebagai agen transfer values dan penguatan karakter kepada siswa. Hal ini misalnya terlihat dengan secara serius menggarap pendidikan kararakter dan pengembangan soft skills siswa di sekolah. Sejauh ini tak ada teknologi, secanggih apapun, yang bisa menggantikan peran guru di bagian ini.

Ini adalah ruang kosong yang bisa digarap guru dan sekolah secara serius. Sekali lagi, komputer secanggih apapun tidak bisa melakukan pembinaan nilai, seperti penguatan integritas, melatih kejujuran, kemampuan bernegosisasi, berkomunikasi, kemampuan bekerjasama dalam tim, besosialisasi, mengasah kreativitas siswa, termasuk memperkuat daya tahan (resilensi) siswa saat menghadapi kehidupan yang semakin menanantang.

Kecanggihan teknologi tidak hanya mempermudah proses siswa memperoleh dan memproses pengetahuan, namun juga membawa dampak negatif seperti berubahnya pola hidup anak-anak muda yang menjadi semakin asosial, kurangnya kepedulian terhadap lingkungan sekitar, karena menghabiskan banyak waktu bermain dengan gawai mereka. Selain itu, beberapa data menunjukkan bahwa banyak remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, sering merasa insecure, dan bahkan depresi.

Data dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2022, misalnya, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Survey yang sama melaporkan bahwa 1 dari 20 remaja mengalami masalah merasa lebih depresi, lebih cemas, lebih merasa kesepian, dan lebih sulit untuk berkonsentrasi. Inilah yang barangkali menjadi pemicu tingginya angka bunuh diri di kalangan remaja akhir-akhir ini.

Adalah guru yang diharapkan berdiri di garda depan bersama orangtua dan pemerintah membantu generasi masa depan ini dalam menghadapi tantangan kehidupan mereka yang semakin kompleks. Kecanggihan terknologi tak hanya memungkinkan mereka tahu banyak hal, namun juga bisa membuat mereka mengalami masalah-masalah baru yang tidak dihadapi generasi sebelum mereka. Mereka perlu teman dan pendamping. Gurulah yang paling mungkin mengambil peran ini secara signifikan di sekolah.

Adaptasi terhadap Teknologi

Selain mereposisi peran dan mentransformasi mindset, guruera AI juga harus melakukan adapatasi terus menerus terhadap perkembangan teknologi digital yang berkembang sangat dahsyat seperti saat ini, termasuk teknologi kecerdasan buatan. Adaptasi itu diantaranya dengan mengintegrasikan penggunaan AI ke dalam proses pembelajaran.

Pertama, guru bisa menggunakan AI dalam proses pembelajaran untuk memperkaya materi pembelajaran. Guru misalnya bisa menggunakan ChatGPT sebagai tool siswa dalam menganalisis sebuah kasus, atau sebagai asisten dalam mencari solusi masalah pada sesi pembelajaran di kelas.

Kemudian, guru bisa menerapkan pembelajaran dengan pendekatan adaptive learning berbasis analisis yang dilakukan AI dalam mengklasifikasi kemampuan siswa dan kecendruangan gaya belajar siswa. Hasil analisis ini bisa digunakan guru sebagai pertimbangan dalam memutuskan pendekatan pembelajaran yang beragam, konten, media, dan bentuk penilaian pembelajaran yang beragam pada indvidu siswa (pembelajaran berdiferensisasi).

Selanjutnya, guru dapat mengadopsi sistem penilaian otomatis berbasis AI. Dengan menggunakan teknologi ini, guru dapat mengurangi beban kerja penilaian mereka. Tes, tugas, atau pekerjaan proyek dapat dinilai secara otomatis, sehingga guru dapat lebih fokus pada interaksi langsung dengan siswa.

Tidak hanya itu, AI juga dapat membantu guru dalam menganalisis data pembelajaran (learning analytic). Dengan analisis data berbasis AI, guru dapat memahami kemajuan siswa dengan lebih baik, mengidentifikasi area yang memerlukan perhatian, dan membuat perubahan yang relevan dalam pendekatan pembelajaran mereka.

Pengintegrasian AI ke dalam proses pembelajaran tentu berpotensi pada pencapaian tujuan pembelajarans secara lebih efektif. Siswa juga akan merasa bahwa proses pembelajaran mereka di kelas nyambung dengan fenomena perkembangan teknologi di luar sekolah. Yang tak kalah penting adalah siswa tetap merasa bahwa gurunya tetap ada bersama mereka, memfasilitasi pembelajaran. Siswa tetap merasa bahwa walaupun ada banyak AI saat ini, tetap ada orang penting dan yang tak kalah cerdas di sisi mereka saat mereka menata peta jalan menuju masa depan mereka di sekolah. Dialah guru.

Untuk bisa melakukan semua ini, tentu guru perlu tak sekedar ada kemauan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, yang paling penting adalah keinginan untuk terus belajar. Guru-guru hebat adalah guru yang tak pernah berhenti belajar.

Selamat hari guru nasional. Jayalah guru-guru Indonesia!

--
* Tulisan ini pertama sekali diterbitkan Harian Riau Pos, tanggal 22 November 2023
https://riaupos.jawapos.com/6359/opini/22/11/2023/eksistensi-guru-di-era-kecerdasan-buatan.html





Artificial Intelligence dan Transformasi Pembelajaran

Artificial Intelligence dan Transformasi Pembelajaran

 Oleh: Afrianto Daud

(Associate Profesor di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Riau)



Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah menjadi kata kunci yang menjadi perhatian banyak pihak dalam beberapa tahun terakhir. Teknologi AI ini memiliki potensi untuk mengubah hampir setiap aspek kehidupan kita, mulai dari kesehatan dan pendidikan hingga transportasi dan hiburan. Namun, terlepas dari banyak manfaatnya, ada kekhawatiran yang berkembang bahwa AI juga dapat menggantikan pekerja manusia, memperburuk ketidaksetaraan yang ada, dan bahkan menimbulkan ancaman eksistensial terhadap kemanusiaan. 

Diskusi dan juga perdebatan tentang keberadaan AI ini semakin mendapatkan tempat dalam satu bulan terakhir, terutama karena munculnya AI yang bernama ChatGPT. Aplikasi chatbot ini bisa menjawab begitu banyak pertanyaan dengan cepat dan dengan tingkat akurasi dan kualitas yang bisa jadi lebih baik dari manusia. Walaupun banyak pihak yang menanggapinya secara positif, tetapi ada juga sebagian yang lain skeptis dan khawatir bahwa ChatGPT bisa disalahgunakan sebagian orang untuk berbuat tidak jujur. Beberapa kampus di Australia, misalnya, mengumumkan bahwa mereka akan kembali menggunakan ujian paper based untuk menghindari kemungkinan mahasiswa berlaku curang dalam ujian dengan menggunakan ChatGPT yang pintar itu. 

Untuk memahami sepenuhnya potensi AI, penting untuk terlebih dahulu memahami apa itu dan bagaimana cara kerjanya. Intinya, AI mengacu pada mesin yang mampu melakukan tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia, seperti mengenali ucapan, memahami bahasa alami, membuat keputusan, dan bahkan menciptakan karya seni. Mesin ini belajar dari data, menggunakan algoritma dan model statistik untuk mengidentifikasi pola dan membuat prediksi. Seiring waktu, mereka menjadi semakin akurat dan efisien, memungkinkan mereka untuk melakukan tugas-tugas yang tidak mungkin dilakukan manusia sendiri. Salah satu bidang AI yang paling menjanjikan adalah di bidang pendidikan. Dengan munculnya platform pembelajaran online dan meningkatnya permintaan untuk pendidikan yang dipersonalisasi (personalized learning), AI berpotensi merevolusi cara kita belajar. 

Di Indonesia, di mana akses ke pendidikan berkualitas seringkali terbatas, alat yang didukung AI dapat membantu menjembatani kesenjangan tersebut, memberikan siswa pengalaman belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi masing-masing. Salah satu contoh alat pembelajaran berbasis AI adalah pembelajaran adaptif (adaptive learning). Teknologi ini menggunakan analitik data dan algoritma pembelajaran mesin untuk mempersonalisasi pengalaman belajar setiap siswa. 

Dengan menganalisis data tentang pola dan preferensi belajar siswa, platform pembelajaran adaptif dapat merekomendasikan konten dan aktivitas yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Hal ini tidak hanya membantu siswa belajar lebih efektif, tetapi juga membantu guru mengidentifikasi area di mana siswa kesulitan dan memberikan dukungan yang ditargetkan. Aplikasi AI lain yang menjanjikan dalam pendidikan adalah dalam pembelajaran bahasa. Dengan jutaan orang di seluruh dunia yang mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, alat pembelajaran bahasa yang didukung AI dapat membantu mempercepat proses pembelajaran dan menjadikannya lebih menarik. Misalnya, chatbot yang menggunakan pemrosesan bahasa alami (NLP) dapat memberikan siswa praktik percakapan dan umpan balik, sekaligus mengidentifikasi area yang perlu mereka tingkatkan. 

Namun, meski potensi AI dalam pendidikan sangat besar, ada juga kekhawatiran tentang dampaknya terhadap profesi guru. Beberapa orang khawatir bahwa alat bertenaga AI dapat menggantikan guru manusia sama sekali, yang menyebabkan hilangnya pekerjaan dan penurunan kualitas pendidikan. Yang lain khawatir bahwa algoritme yang digunakan dalam AI dapat melanggengkan bias dan ketidaksetaraan yang ada, terutama jika algoritme tersebut tidak dirancang dengan mempertimbangkan keragaman dan inklusi. 

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi kita untuk mentransformasi pembelajaran, terutama untuk mengadopsi pendekatan baru yang mengkombinasikan keberadaan AI dan guru manusia. Alih-alih memandang AI sebagai pengganti guru manusia, kita harus melihatnya sebagai pelengkap. Alat bertenaga AI dapat membantu guru memberikan instruksi yang lebih personal dan efektif, sekaligus meluangkan waktu untuk aktivitas yang lebih kreatif dan menarik yang memerlukan interaksi manusia.

Pada saat yang sama, sangat penting bahwa AI dirancang dengan mempertimbangkan etika dan inklusivitas. Ini berarti memastikan bahwa algoritme tidak bias terhadap kelompok tertentu, dan algoritme tersebut transparan dan akuntabel. Ini juga berarti memprioritaskan peran guru manusia dalam proses pembelajaran dan memastikan bahwa mereka menerima pelatihan dan dukungan yang mereka perlukan untuk mengintegrasikan AI ke dalam praktik pengajaran mereka.

Di Indonesia, sudah ada contoh alat pendidikan bertenaga AI yang digunakan dengan sangat efektif. Misalnya, Ruangguru, sebuah platform pembelajaran online, menggunakan AI untuk memberikan pengalaman belajar yang dipersonalisasi bagi siswa di seluruh negeri. Sementara itu, program Beasiswa Bakat Digital pemerintah melatih siswa dalam AI dan teknologi baru lainnya, membantu mempersiapkan mereka untuk pekerjaan di masa depan. 

Pendeknya, AI berpotensi merevolusi pendidikan di Indonesia dan di seluruh dunia. Dengan memberikan pengalaman belajar yang dipersonalisasi, meningkatkan penilaian dan evaluasi, serta mengidentifikasi area yang perlu dukungan dari siswa, AI dapat membantu meningkatkan kualitas dan aksesibilitas pendidikan untuk semua. Namun, untuk menyadari sepenuhnya potensi AI dalam pendidikan, kita memerlukan upaya bersama dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pendidik, dan perusahaan teknologi. Ini berarti berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan, membuat kebijakan yang mempromosikan penggunaan AI secara etis, dan memberikan pelatihan dan dukungan bagi guru untuk mengintegrasikan AI ke dalam praktik pengajaran mereka. Ini juga berarti memastikan bahwa semua siswa, terlepas dari latar belakang atau status sosial ekonomi mereka, memiliki akses ke teknologi ini dan tidak ketinggalan. 

Bidang lain di mana AI berpotensi mengubah pendidikan adalah dalam penilaian dan evaluasi. Secara tradisional, penilaian telah dilakukan melalui tes dan ujian standar, yang dapat memakan waktu dan seringkali gagal menangkap kemampuan siswa yang sebenarnya secara akurat. Alat penilaian bertenaga AI, di sisi lain, dapat menganalisis kinerja siswa secara real-time dan memberikan umpan balik langsung, yang memungkinkan guru menyesuaikan strategi pengajaran mereka. Selain itu, AI juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi area di mana siswa kesulitan dan memberikan intervensi yang ditargetkan. Misalnya, sistem bimbingan belajar yang didukung AI dapat memberikan dukungan yang dipersonalisasi kepada siswa secara real-time, membantu mereka mengatasi kesulitan dan meningkatkan kinerja mereka. 

Namun, penting untuk dicatat bahwa alat penilaian yang didukung AI bukannya tanpa tantangan. Ada kekhawatiran bahwa alat-alat ini mungkin tidak secara akurat menangkap seluruh kemampuan siswa, terutama dalam bidang seperti kreativitas dan pemikiran kritis. Selain itu, ada kekhawatiran tentang potensi alat ini untuk mengabadikan bias dan ketidaksetaraan yang ada, terutama jika tidak dirancang dengan mempertimbangkan keragaman dan inklusi. 

Untuk mengatasi masalah ini, penting untuk mengembangkan alat penilaian yang mengambil pandangan holistik dari kemampuan siswa dan menggabungkan berbagai ukuran penilaian. Ini berarti menggabungkan metode tradisional seperti tes dan ujian dengan pendekatan yang lebih inovatif, seperti penilaian berbasis proyek dan evaluasi sejawat. 

Kesimpulannya, AI berpotensi merevolusi pendidikan di Indonesia dan di seluruh dunia. Dengan memberikan pengalaman belajar yang dipersonalisasi, meningkatkan penilaian dan evaluasi, serta mengidentifikasi area yang perlu dukungan dari siswa, AI dapat membantu meningkatkan kualitas dan aksesibilitas pendidikan untuk semua. Namun, untuk menyadari sepenuhnya potensi ini, penting untuk mengadopsi pendekatan baru dalam pembelajaran yang bisa merangkul guru (manusia) dan AI pada saat yang sama, sekaligus memprioritaskan etika dan inklusivitas. Dengan demikian, kita perlu memastikan bahwa AI harus digunakan dengan cara yang bermanfaat bagi semua siswa, terlepas dari latar belakang atau status sosial ekonomi mereka, dan membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera untuk semua.***

Sumber: www.riaupos.jawapos.com > Opini - Artificial Intelligence dan Transformasi Pembelajaran - Afrianto Daud (Associate Profesor di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Riau)

Link:
https://riaupos.jawapos.com/6254/opini/03/03/2023/artificial-intelligence-dan-transformasi-pembelajaran.html

Terima kasih telah mengunjungi website kami.

Bagaimana Mendesaian Pembelajaran Yang Engaging

Oleh: Afrianto Daud (Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Riau)

Apa diantara hal penting yang mesti dilakukan guru dan dosen saat mengelola kelas? Memastikan adanya engagement adalah diantara jawabannya.

Inti dari engagement adalah bahwa ada ikatan bathin (ikatan emosi) antara individu di dalam kelas, baik antar guru dan murid, maupun antar satu siswa dengan siswa yang lain. Engagement yang kuat tidak hanya akan membuat siswa bisa fokus pada proses pembelajaran, tetapi juga memungkinkan terbangunnya sense of community di dalam kelas. Ini akan terasa jika antar individu merasa bahwa mereka adalah bagian penting yang berkontribusi pada kesuksesan kelas.
Tantangannya adalah bagaimana seorang guru bisa membangun ikatan yang kuat ini agar pembelajaran berlangsung efektif? Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan guru.
1. Libatkan peserta didik dalam proses pembelajaran. Pastikan bahwa anda memandang setiap anggota kelas sebagai individu dengan 'gelas setengah penuh'. Setiap orang bukanlah gelas kosong yang hanya siap diisi. Tapi, mereka adalah individu dengan beberapa pengetahuan awal di kepala mereka tentang topik pembahasan (schemata).
Dengan schemata itu, mereka bisa berkontribusi, bahkan bisa menjadi diantara sumber belajar yang akan memperkaya pembahasan materi di dalam kelas. Dengan demikian, guru dan dosen semestinya tidak mengangap bahwa dia adalah sumber belajar satu-satunya di dalam kelas.
2. Pelibatan ini kemudian bisa dilakukan dengan cara mendesain kelas partisipatif, interaktif, dan kolaboratif. Siswa harus ditempatkan sebagai subjek pembelajaran, bukan objek yang pasif. Peran guru harus lebih banyak memfasilitasi pembelajaran dengan berbagai kegiatan yang memungkian setiap individu berinteraksi, bersosialisasi, dan berkolaborasi dalam proses pembelajaran. Inilah diantara inti pembelajaran yang berpusat kepada siswa (SCL), yang sekarang banyak diadopsi sebagai pendekatan pembelajaran terkini.
3. Sebagai fasilitator, pastikan anda bisa mengontrol setiap kegiatan siswa dengan baik. Salah satu cara efetif adalah, berjalan dan berkelilinglah di dalam kelas. Jangan jadi guru pemalas, yang hanya duduk di bangku guru, tak pernah berdiri, dari awal sampai kelas selesai.
4. Guru adalah derigent yang menentukan warna orkestrasi di dalam kelas. Jadi, meskipun pembelajaran berpusat pada siswa, keberhasilan SCL ini sangat ditentukan oleh ketrampilan guru mengarahkan, menghidupkan, dan mengatur naik turun 'nada pembelajaran' selama kelas berlangsung.
5. Gunakan bantuan teknologi dalam mendesain dan mengorkestrasi pembelajaran. Kerja kelompok, diskusi, presentasi, bahkan permainan di dalam kelas tentu tetap bisa dilakukan dengan cara tradisional, tetapi ada banyak aplikasi yang memungkinkan kegiatan pembelajaran aktif, interaktif, partisipatif, dan kolaboratif ini bisa berlangsung lebih efektif dan lebih efisien.
Dengan demikian, selain menguasai prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme dan sosial konstruktivisme yang dulu dipopulerkan ahli seperti Piaget dan Vygotsky, guru dan dosen perlu juga memperkaya dengan teori pembelajaran mutakhir di era digital berbasis ide Connectivisme yang diperkenalkan Siemen (2005).
Bagaimana melihat kualitas engagement di kelas kita? Salah satunya ketika siswa merasa waktu belajar di kelas berjalan seperti malam pertama penganten baru.
Eh, tiba-tiba kok sudah pagi aja harinya. Padahal ... 😁😅
 Ketika siswa (ter)tidur di kelas

Ketika siswa (ter)tidur di kelas

Oleh. Afrianto Daud

Sedang viral sebuah video yang merekam aksi seorang ibu guru menyiram seorang siswa yang sedang (ter)tidur di kelasnya. Video ini dikomentari banyak orang. Walau satu dua ada yang mencoba memahami mengapa si ibu sampai membangunkan anak dengan cara seperti itu, mayoritas netizen berkomentar negatif. Mereka menyayangkan bahkan mengecam aksi kurang elok yang dilakukan si ibu guru.
Tentu sang ibu guru dan siswa yang ada di kelasnya yang persis tahu detail kisahnya, tentang apa yang terjadi sebelum aksi yang terlihat di dalam video. Namun, secara umum keputusan sang ibu guru membangunkan siswa yang tidur dengan cara seperti itu memang tidak tepat. Aksi itu dipandang tidak bijak dilihat dari berbagai sudut pandang, baik secara pedagogis maupun psikologis. Kabarnya sang guru dan pihak sekolah sudah meminta maaf dan berdamai dengan siswa.
Penting diingat oleh setiap pendidik dimanapun bahwa pada dasarnya setiap anak sudah memiliki niat baik dari rumah ke sekolah. Mereka berangkat dari rumah dengan niat belajar. Mereka berusaha bangun di pagi hari. Sebagian memaksakan diri mandi. Kemudian berangkat ke sekolah, bahkan kadang tak sempat sarapan pagi. Waktu sekolah di Indonesia memang agak kepagian dibanding jam sekolah di banyak negara.

Dengan demikian, jika anak yang sebelumnya di pagi hari dengan semangat datang ke sekolah, tetapi kemudian jadi tertidur di ruang kelas, penyebabnya tidaklah tunggal. Penyebabnya tidak selalu bermakna si anak adalah anak pemalas, tak mau diatur, tukang tidur dan sejenisnya. Sangat boleh jadi ada sebab lain.
Saya cenderung mengatakan bahwa jika ada kejadian siswa tertidur di kelas, pihak pertama yang wajib melakukan refeleksi adalah guru. Apakah kita para guru telah melakukan proses pembelajaran yang menarik, yang membangkitkan rasa ingin tahu siswa. Apakah kita sudah bisa mengorkestrasi kelas kita sedimikian rupa dengan berbagai metode pembelajaran yang 'membangunkan siswa' sehingga anak-anak itu bisa terus hidup di kelas, lupa dengan dunia di luar, bahkan tak sempat untuk menguap?
Jika anda sudah melakukan yang terbaik dalam pengelolaan kelas, kemudian tetap masih ada satu dua anak yang terlihat tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan baik, seperti tertidur di kelas itu. Maka, kita para guru perlu bertindak bijak. Mencoba mencari tahu apa sesungguhnya penyebab mereka tertidur.
Apakah karena siswa sedang sakit, misalnya. Bisa juga karena siswa semalam kurang tidur karena begadang membuat berbagai tugas yang diberikan guru pada hari sebelumnya, atau karena siswa sudah kecapean dengan berbagai kegiatan di sekolah yang sering padat, dari pagi sampai sore. Sehingga tubuhnya secara natural meminta istirahat.
Karena alasan siswa tertidur itu majemuk, maka guru perlu hati-hati menghadapi siswa yang tertidur ini. Diantara cara yang bisa dilakukan guru adalah dengan mendekat secara fisik ke arah siswa yang sedang tertidur, kemudian memanggil namanya tanpa dia duga. Seringkali tidurnya siswa di kelas hanyalah 'lalok-lalok' ayam, yang dengan mudah dibangungkan hanya dengan cara guru berdiri di dekat siswa yang sedang lalok-lalok ayam itu.
Cara lain, tentu dengan membangunkan siswa baik-baik. Bisa dengan menyentuh pundaknya, menyebut namanya, Biasanya sangat mudah membangunkan dengan cara ini. Setelah terbangun guru dengan baik-baik bisa meminta siswa ke luar kelas, mencuci muka. Seringkali cara ini efektif membuat anak kembali segar dan bisa kembali mengikuti pelajaran.
Jika setelah kembali kelas, siswa yang bersangkutan masih tetap terkantuk-kantuk, guru harus sensitif bahwa itu memang adalah tanda-tanda alamiah yang tak bisa dipaksakan. Satu-satunya obat mengantuk memang adalah tidur itu sendiri. Di beberapa sekolah di negara maju bahkan ada jadwal 'tidur siang' untuk memberi kesempatan siswa beristirahat.
Untuk alasan ini saya pernah mempersilakan seorang mahasiswa yang tetap mengantuk di kelas saya untuk pindah ke ruang kosong di sebelah.
'Silakan saudara tidur sekejap di ruang sebelah. Setelah itu balik lagi ke kelas ini', demikian suatu hari saya memberi kesempatan.
Besoknya ketika kembali bertemu dengan mahasiswa, saya tanya, 'You mengapa terlihat sering mengantuk di kelas?', selidik saya.
Tak langsung dia jawab, tetapi setelah saya tanya lagi, dia kemudian memberi penjelasan.
"Maaf sir. Saya harus bekerja di warnet setiap malam. Saya kuliah atas biaya saya sendiri. Saat ini hanya bekerja di warnet itu yang bisa saya lakukan untuk bisa bertahan kuliah dan bisa tetap hidup'.
Saya kemudian menemukan jawaban mengapa si mahasiswa sering terlihat mengantuk. Cerita seperti ini penting diketahui guru ataupun dosen agar tak sembarangan main siram-siraman di dalam kelas, seperti pada video viral itu.
Kejadian seperti yang kita lihat di video itu bisa membawa dampak psikologis berupa rasa malu dan bahkan trauma pada diri siswa. Luka psikologis ini bisa menjadi asbab siswa tak mau dan tak mampu mengikuti kelas berikutnya dengan baik. Apalagi kalau sudah sampai viral sedunia. Siswa dan sekolah bisa saja berdamai, tetapi luka psikologis itu bisa tetap bertahan lama. Bisa merusak masa depan siswa. Kita tentu tak ingin itu terjadi pada anak-anak kita.
Wallahu a'lam!
Belajar Luring Penuh dan Potensi 'Reverse Culture Shock'

Belajar Luring Penuh dan Potensi 'Reverse Culture Shock'

 

Oleh: Afrianto Daud

(Dosen FKIP Universitas Riau)

 

Banyak kampus mulai mengumumkan bahwa kegiatan perkuliahan akan berlangsung tatap muka penuh di kampus (full offline) menyusul relaksasi aturan prokes dan proses pembelajaran di perguruan tinggi. Diantara basis aturan kembalinya kampus membuka proses pembelajaran tatap muka penuh ini adalah Surat Edaran (SE) Mentri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 7 thun 2022 tentang diskresi pelaksanaan keputusan bersama 4 (empat) menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19). Salah satu inti dari SE ini adalah bahwa pimpinan pemerintah daerah bisa melakukan kebijakan dan keputusan sendiri terkait proses pembelajaran seratus persen dengan mempertimbangkan kondisi daerah masing-masing tanpa harus terikat secara ketat dengan tiga Keputusan Bersama Empat Menteri sebelumnya.



Pembelajaran tatap muka penuh di darat ini bahkan telah dimulai lama oleh satuan pendidikan di tingkat dasar dan menengah. Satuan pendidikan dasar dan menengah ini bisa dikatakan 'lebih progressif' dalam halam penerapan prokes dan pelaksanaan pembelajaran luring. Salah satu alasannya tentu adalah karena pandemi yang melanda dunia sudah mulai menjadi endemi. Bahayanya dianggap tidak semengkhwatirkan dulu. Angka vaksinasi juga terus meningkat. Sekolah dan kampus dianggap kembali aman untuk kembali menyelenggarakan proses pendidikan seperti sebelum pandemi. Tentu, dengan beberapa catatan terkait penerapan prokes.

Saya menduga akan terjadi semacam 'reverse culture shock' bagi sebagian dosen dan mahasiswa saat akan kembali belajar luring penuh di kampus. Reverse culture shock sendiri aslinya adalah terkait fenomena yang cenderung dialami oleh individu yang pernah tinggal sementara di suatu daerah asing dan kembali lagi ke lingkungan asalnya. Mereka yang lama tinggal di luar negeri dengan segala budayanya akan mengalama kejut budaya saat mereka kembali ke tanah air. Dalam konteks tulisan ini, reverse culture shock bermakna 'kejut budaya' yang dialami dosen dan mahasiswa ketika kembali belajar luring setelah sebelumnya terbiasa dengan belajar daring.

Ketika di awal pandemi banyak dosen dan mahasiswa (juga guru dan siswa) yang merasa terkejut dengan perubahan moda belajar dari tatap muka luring menjadi daring penuh. Dulu, sebagian dosen dan guru bingung bagaimana bisa mengelola kelas daring secara efektif. Mereka mengalami culture shock. Namun setelah menjalani proses belajar daring selama lebih dua tahun selama pandemi, dosen, guru, mahasiswa, dan siswa telah mulai terbiasa dengan segala proses daring ini. Mereka bisa saja telah memiliki budaya baru dalam hal proses pembelajaran. Budaya baru itu terkait dengan budaya digital yang difasilitasi oleh ekosistem pembelajaran virtual.

Banyak guru dan dosen makin terampil mempersiapkan pembelajaran daring seperti membuat perangkat pembelajaran berbasis digital, mengelola materi di Manajemen Sistem Pembelajaran (LMS), berinteraksi secara synchronous dengan mahasiswa melalui berbagai platform video konfrerensi, membuat video pembelajaran, sampai melakukan kuis dan penilaian dengan memanfaatkan banyak fitur pembelajaran berbasis online.

Pada sa’at yang sama, mahasiswa juga semakin literat secara digital. Kemampuan mahasiswa dalam adaptasi dengan budaya pembelajaran digital ini bisa lebih cepat dari sebagian dosen. Terlepas dari masalah jaringan di beberapa wilayah yang masih belum begitu kuat, secara teknikal banyak mahasiswa dan juga dosen saat ini sudah tidak lagi bermasalah dengan proses pembelajaran daring ini.

Tak heran jika beberapa survey terakhir mengindikasikan bahwa mayoritas mahasiswa lebih memilih belajar daring ketimbang luring. Sebuah survey yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (UII) di awal tahun 2022, misalnya, mencatat bahwa  mahasiswa yang memiliki preferensi luring mencapai 71 persen, sisanya sekitar 29 persen lebih suka daring. Data ini berbeda ketika survey dengan topik yang sama pada awal pandemi dulu. Survey Kemendikbud tahun 2020  misalnya mengungkap bahwa 90 persen mahasiswa lebih memilih kuliah tatap muka ketimbang daring.

Perubahan penerimaan mahasiswa terhadap pembelajaran daring ini tak hanya karena pembelajaran daring memberikan fleksibelitas lebih kepada mahasiswa dan juga dosen dalam hal tempat dan waktu belajar, tetapi juga saya yakin karena mahasiswa dan dosen semakin terampil dengan pengelolaan kelas daring ini. Berkembangnya ketrampilan dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran daring ini tentu juga akan meningkatkan efektivitas pembelajaran daring.


Menghadapi Reverse Culture Shock

Diantara bentuk reverse culture shock itu adalah sangat bisa jadi dosen akan merasa terkejut ketika berbagai kemudahan yang mereka rasakan saat belajar daring tidak lagi mereka peroleh saat pembelajaran tatap muka penuh. Ketika pembelajaran daring, misalnya, mereka dengan mudah berbagi layar melalui fitur share screen di platform video konferensi saat kuliah melalui Zoom, Webex, Google Meet, dan lainnya. Ketika luring  bisa jadi mereka akan mengalami kesulitian melakukan ini. Kadang sebagian dosen bisa menghabiskan waktu menunggu mahasiswa mencari infokus atau proyektor yang bisa tersambung ke laptop dosen di ruang kelas. Tidak semua ruangan di sekolah dan juga di kampus yang sudah terinstalasi proyektor. Proyektor bahkan mungkin masih dianggap benda mewah di banyak ruang kelas perkuliahan.

Melalui share screen, dosen juga dengan mudah berbagi banyak materi ajar seperti video, gambar, animasi, audio, games, dan materi perkuliahan lainnya secara daring. Kemudahan ini bisa jadi menjadi sesuatu yang tak mudah saat dosen mengajar luring penuh di kelas. Tak semua kelas yang dilengkapi fasilitas loud speaker untuk mendengarkan audio, misalnya. Akibatnya, materi-materi yang sebelumnya dengan mudah digunakan dosen sebagai pengaya materi pekuliahan ketika daring bisa jadi tak bisa lagi digunakan secara efektif dan efisien ketika luring penuh itu.

Inilah diantara bentuk potensi ‘budaya kejut balik’ yang mungkin akan dirsakan sebagian dosen dan mahasiswa. Mereka akan kehilangan beberapa kemudahan saat proses belajar daring. Ini belum lagi bicara kenyamanan suasana daring yang bakal tak ditemui saat daring. Dosen dan mahasiswa bisa mengikuti dan melakukan proses belajar dengan suasana santai ditemani secangkir kopi panas di meja kerja/belajar. Ketika luring penuh suasana ini sulit diperoleh. Yang ada justru bisa jadi adalah suasana kering dan kepanasan akibat banyak ruang perkuliahan yang belum dilengkapi sarana air conditioner.

Tentu adalah hal yang bagus jika kampus dan sekolah bisa kembali bertatap muka penuh. Apalagi memang ada beberapa mata kuliah yang tak bisa sepenuhnya daring. Mata kuliah yang memerlukan praktikum, misalnya. Proses pendidikan yang ideal juga memerlukan interaksi fisik yang ril di dunia nyata. Namun, kembalinya proses pembelajaran tatap muka seratus persen itu tidak mesti diartikan kembali persis seperti sebelum pandemi. Life will never be same again after pandemic. Bahwa kehidupan kita tak kan lagi persis sama dengan sebelum pandemic. Termasuk di dunia pendidikan.

Oleh karena itu, ketika sekarang kecendrungan semua kampus kembali tatap muka penuh, penting bagi kampus mempersiapkan beberapa hal, terutama untuk mempertahankan segala hal baik yang diperoleh selama belajar daring. Kemapuan dosen dan mahasiswa dengan literasi digital terkait perkuliahan mesti terus difasilitasi kampus. Pembelajaran dan atau perkuliahan di kampus sebaiknya tidak kembali ke masa lalu yang jauh dari sentuhan teknologi digital. Segala hal yang baik itu mesti terus dipertahankan.

Walaupun perkuliahan tatap muka seratus persen, dosen mesti diberikan kebebasan untuk bisa tetap mempertahankan sebagai budaya belajar virtual itu. Misalnya dosen bisa mengelola kelasnya dengan moda perkuliahan yang mengadopsi prinsip pembelajaran bauran (blended learning), dimana perkuliahan bisa dilakukan dengan campuran antara tatap muka langsung dan tatap muka maya. Untuk ini, kampus harus tetap merawat Learning Management System (LMS) mereka sehingga dosen bisa mengelola materi perkuliahan dan mahasiswa bisa mengakses materi di sana. Mahasiswa bisa belajar mandiri secara asinkronous sebelum bertatap muka kembali dengan dosen pada pertemuan berikutnya.

Selain membangun infrastruktur pembelajaran digital yang kuat, sudah kewajiban kampus juga membanguan ruangan kelas pintar yang ramah digital (digital smart classroom). Kampus wajib memastikan ada akses internet di setiap ruang kelas. Paling tidak setiap ruang kelas sudah mesti terinstalasi proyektor dan loud speaker yang cukup baik. Peralatan ini bisa digunakan dosen kapan saja mereka perlu tanpa harus mencari-cari atau meminjam ke sana kemari sebelum perkuliahan. Ruangan perkuliahan mesti dibikin senyaman mungkin. Tidak mesti seperti senyaman hotel. Setidaknya ada pendingin ruangan yang memungkinkan dosen dan mahasiswa betah dan tidak gerah berlama-lama di ruangan kelas.

Jika semua hal terjadi karena satu alasan, maka pandemi ini kita yakini juga terjadi karena alasan tertentu. Ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil selama prosesnya, termasuk pembelajaran atau hal-hal baik terkait pembelajaran daring. Kita perlu mempertahankan dan terus tumbuhkan segala hal praktik baik terkait pembelajaran daring itu, walau saat ini kampus telah mengumumkan pembelajaran tatap muka seratur persen. Sekali lagi, life will never be same after pandemic. Hidup kita tak kan pernah persis sama lagi seperti sebelum pandemi. Wallahu a’alam.

--
Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh Riau Pos, Senin 15 Agustus 2022

Bergerak Bersama Selama Pandemi: Sebuah Praktik Baik

Oleh: Afrianto Daud

(Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Riau)

Sudah lebih satu setengah tahun tatanan dunia terguncang hebat karena pandemi bernama Covid19. Pandemi ini telah menghancurkan dan mendisrupsi banyak hal, terutama ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Angka pengangguran dan kemiskinan melonjak tajam. Banyak orang yang tiba-tiba kehilangan pekerjaaan karena pembatasan aktivitas manusia. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus lalu, misalnya, menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 minus 5,32 persen. Sebelumnya, pada kuartal I 2020, BPS melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 2,97 persen, turun jauh dari pertumbuhan sebesar 5,02 persen pada periode yang sama 2019 lalu.

Pada sektor pendidikan, pandemi telah memaksa jutaan sekolah di dunia tutup secara fisik. Moda pendidikan beralih ke pembelajaran daring secara masif. Semua perubahan yang tiba-tiba ini tentu telah mengganggu jalannya proses pendidikan bagi 1,5 milyar anak didik di dunia. Pembelajaran daring selama pandemi tidak efektif. Laporan dari Bank Dunia tahun 2020 menyebut bahwa rata-rata efektivitas pembelajaran daring hanya berkisar 33-40 persen saja.

Tutupnya sekolah dalam waktu lama telah berakibat serius pada proses pendidikan. Pembelajaran daring mengalami banyak masalah. Tidak efektif. Anak-anak kita tidak hanya mengalami tekanan baru, stress akibat banyak tugas selama belahar daring, mereka juga sedang berada pada ancaman serius berupa kehilangan kesempatan untuk belajar (learning loss). Laporan terbaru UNICEF menyebut bahwa ada 24 juta siswa terancam putus sekolah karena pandemi. Pada jangka panjang, anak didik kita akan kehilangan banyak ketrampilan yang seharusnya mereka miliki. Kita terancama kehilangan generasi terbaik.

Pada kondisi seperti ini sangat diperlukan kerjsama dan sinergi nyata antara berbagai stakeholder pendidikan: pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Jalannya proses pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah tentu tak akan sanggup berjalan sendiri, tanpa ada dukungan dari pihak lain, seperti masyarakat itu. Apalagi pemerintah juga harus menghadapi tantangan lain akibat pandemi, terutama bagaimana menekan angka korban kematian akibat pandemi, termasuk bagaimana menyelematkan ekonomi nasional yang terseok akibat banyak pembatasan selama pandemi.


Praktik Baik dari Ranah Minang

Kita bersyukur bahwa sinergi dan kolaborasi masyarakat dalam menjalankan pendidikan selama pandemi ini bisa dicontohkan dengan baik oleh masyarakat pelaku dan pemerhati pendidikan Minangkabau yang difasilitasi oleh Minangkabau Diaspora Global Network (MDGN). Ini adalah jejaring perantau Minang yang tersebar di banyak belahan dunia. Perkembangan teknologi digital telah memudahkan ratusan ribu perantau Minang di dunia terhubung melalui jaringan MDGN ini.

Selama hampir dua tahun terakhir, di bawah arahan Prof Fasli Jalal, wakil menteri pendidikan nasional semasa pemerintahan SBY, dan saudara Burmalis Ilyas, salah seorang pimpinan di MDGN, MDGN telah melakukan banyak sekali kegiatan inovatif yang menarik dan bermanfa’at. Salah satunya MDGN mentaja kegiatan workshop berseri di bidang pendidikan untuk membantu ribuan guru di ranah Minang untuk bisa bertahan dan tetap produktif menjalankan pendidikan selama pandemi ini.

Pelatihan online berseri ini diisi oleh banyak pakar pendidikan berasal dari beberapa perguruan tinggi di Sumatera Barat, Riau, Jakarta, dan Australia. Konten pelatihan beragam, mulai dari filosofi belajar daring, metodologi pengajaran selama pandemi, media pembelajaran, sampai hal-hal yang lebih praktis, seperti bagaimana membuat video pembelajaran, LKPD digital, mengelola Learning Management System (LMS), dan lainnya.

Yang paling menarik dari proses workshop yang berjalan lebih tiga bulan ini adalah semuanya dilakukan secara volounteer dengan biaya yang nyaris nol. Semua bergerak atas dasar sukarela dan atas dasar kemauan dan kepedulian terhadap pendidikan di ranah Minang. Setiap pihak seakan berlomba memberikan sesuatu, berkontribusi yang mereka bisa untuk kemajuan pendidikan di ranah Minang, terutama selama pandemi.

Yang tak kalah mengesankan adalah bahwa workshop ini selalu diikuti oleh ribuan peserta pada setiap sesinya. Peserta tidak hanya datang dari ribuan guru (SD-SLTA) di Sumatera Barat, tetapi juga para guru dari daerah lain. Mayoritas guru sangat antusias mengikuti setiap sesi kegiatan. Hal ini terlihat dari antusiasme mereka bertanya, termasuk mengerjakan latihan dan atau tugas setelah sesi materi berlangsung.

Suksesnya kegiatan workshop berseri MDGN selama pandemi juga tak bisa dilepaskan dari adanya dukungan yang kuat dari pemerintahan provinsi dan pemerintahan daerah di Sumatera Barat. Pada setiap sesi workshop selalu ada pihak pemerintahan yang hadir, mulai dari gubernur Sumatera Barat (Irwan Prayitno dan kemudian dilanjutkan Mahyeldi) sampai para bupati dan walikota. Komitemen pemerintah daerah mensukseskan kegiatan workshop daring ini salah satunya ditunjukan dengan himbauan setiap dinas kepada semua guru untuk hadir dan berpartisipasi pada workshop ini.

Apa yang dilakukan MDGN dan pemerintahan provinsi/kabupaten/kota di Sumatera Barat jelas adalah sebuah praktek baik (best practice) yang pantas ditiru oleh daerah lain terkait bagaimana berbagai pihak bisa bekerjasama mencari jalan keluar dalam menghadapi tantangan yang muncul selama pandemi.  Praktik baik seperti ini sangat diperlukan bagi banyak komunitas pendidikan yang sedang mencari cara-cara terbaik menyikapi dampak pandemi terhadap pendidikan.

Saat ini Kementrian Pendidikan Nasional dibawah pimpinan Nadiem Makarim sedang meluncurkan program Organisasi Penggerak dalam rangka mengakselerasi ketercapaian program merdeka belajar. Ada anggaran cukup besar (595 milyar) yang disediakan untuk operasional program ini. Jika banyak organisasi penggerak yang memperoleh dana cukup besar itu baru saja memulai kerja mereka, MDGN telah memberikan contoh nyata bagaimana bergerak, berkontribusi, dan memberikan solusi terhadap pemasalahan pendidikan anak negeri. MDGN sesungguhnya telah menjadi contoh organisasi penggerak, walau tanpa anggaran pemerintah.

Terimakasih dan semoga Allah memberkati. Saya bangga pernah menjadi bagian kecil dari praktik baik ini.

Kematian dan Kepulangan

Oleh: Afrianto Daud

Dari beberapa istilah yang digunakan oleh masyarakat kita dalam merujuk pada kematian, seperti 'meninggal', 'sampai ajal', 'tewas, 'wafat', atau 'mati' itu sendiri, saya paling suka dengan istilah 'berpulang'.
Ya, pulang, atau berpulang!



Istilah ini langsung menukik pada substansi kematian itu sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan di dunia. Bahwa kematian bukanlah akhir perjalanan kehidupan. Dia hanyalah jembatan yang mengantarkan seseorang untuk pulang ke rumahnya, ke kampung halamannya.
Istilah ini sekaligus mengingatkan kita tentang substansi kehidupan di dunia yang sesungguhnya tak lebih dari 'negeri rantau', bukan tempat menetap selamanya. Karenanya, meminjam istilah Ibnu Al Jauzi, seorang perantau seyogianya tidak pantas menjadikan dunia itu sebagai rumah yang diimpikan. Dia hanyalah jembatan.
Setiap momen kepulangan pasti dipenuhi suasana emosional. Baik bagi mereka yang akan pergi, maupun yang ditinggalkan. Bagi seorang perantau, momen kepulangan adalah momen yang ditunggu. Kepulangan adalah momen yang dirindu. Tentu bukan pulang dengan tangan hampa. Tetapi, pulang sebagai 'perantau sukses'.
Bagi yang ditinggalkan, melepas mereka yang pulang (for good) bisa jadi akan diwarnai pelukan erat, dan isak tangis. Normal, sejak dahulu isak tangis dan sedu sedan hampir selalu menjadi bukti paling otentik yang merefleksikan cinta dan kasih sayang saat berpisah.
Namun jika kembali kepada filosopi 'berpulang' itu, maka seharusnya isak tangis itu tak boleh lama. Toh, semua kita akan berpulang, bukan?
Jika mereka yang tahu dimana rumahnya akan merindu untuk pulang, bisa jadi ada mereka yang tak mau pulang atau tak tahu jalan untuk pulang. Jika sampai pada posisi seperti ini, maka sebagai perantau kita perlu berhenti sejenak; merenungi jalan hidup tentang dimana dan mau kemana.
Jangan sampai, kita termasuk mereka yang tak mau 'pulang'. Mau atau tidak, kita pasti akan pulang, kawan.
Kita tak mau? Tapi akan ada waktunya kita akan 'dipaksa pulang'. Inilah kepulangan yang menyedihkan.
THE END!





Saat Guru di Depan Kelas

 Oleh: Afrianto Daud

Ketika guru berdiri di depan kelas, maka dia sesungguhnya sedang menjalankan peran yang kompleks. Tak hanya sekedar bicara menjelaskan pelajaran, tetapi lebih dari itu. Seorang guru sesungguhnya berperan jamak. Ada yang langsung terlihat oleh siswa. Banyak yang tak terlihat.
Seorang guru bahkan telah menjalankan tugas itu jauh sebelum dia berdiri di depan kelas. Layaknya sebuah pertunjukan drama, guru adalah penulis naskah 'kisah drama' yang akan dia pentaskan di dalam kelas. Untuk ini dia mesti menyusun skenario pembelajaran. Sebutlah itu lesson plan, materi ajar, quiz, dan media pembelajaran.
Saat harinya tiba, guru tak hanya menjadi seorang yang mentransfer pengetahuan, dia juga adalah seorang 'aktor' yang tengah memainkan peran dari skenario naskah yang dia tulis. Agar sukses dan bisa memikat penonton, dia harus benar-benar bisa menjiwai peran yang dia lakukan. Dia mesti menjalankan peran itu secara penuh. Mengajar sepenuh jiwa - being a passionate teacher.
Jika semua kalimat guru adalah magic, maka dalam memainkan perannya sebagai aktor, setiap gerakan guru di depan siswa (besar atau kecil, terlihat atau sumir) bermakna. Ya, setiap gerakan guru sekecil apapun akan menyampaikan banyak pesan kepada siswa.
Senyuman guru akan mengalirkan energi positif kepada siswa. Anggukan guru akan memberi keyakinan dan keberanian siswa untuk bereksplorasi. Tepukan kecil di pundak siswa mengalirkan semangat. Sebaliknya, wajah guru yang cemberut akan membuat kelas menjadi tak nyaman. Gelengan kepala guru akan menciutkan nyali siswa. Guru yang terkantuk-kantuk di depan siswa telah membubarkan esensi kelas jauh sebelum lonceng pulang berbunyi.
Karena setiap kata dan gerakan tubuh guru bicara, itulah sebabnya guru dianjurkan untuk memperhatikan tampilan fisiknya. Guru mesti tampil rapi dan enak dipandang, misalnya. Jangan sampai guru lupa memasang satu kancing bajunya. Lupa memasang ikat pinggang. Atau malah lupa memasang rensleting celana. Bahaya!
Guru mesti pandai 'berminyak air', mengelola perasaan. Semarah apapun guru pada sebuah suasana, dia terlarang marah besar, bermerah muka, apalagi sambil membentak-bentak di depan kelas. Dia harus belajar kepada pembaca berita di layar TV, yang tetap tersenyum di hadapan layar, walau hati dan jiwanya mungkin sedang berduka. Ini tak mudah, tapi guru hebat  biasanya bisa melakukannya .
Guru adalah juga dirigen yang memimpin sebuah orkestra. Dia yang menjadi pengarah kemana suasana kelas akan di bawa. Dia yang menentukan naik turun nada. Dialah diantara sumber penting semangat yang mengaliri jiwa siswa.
Maka, jika ada siswa yang mengantuk di dalam kelas, itu tak selalu salahnya siswa. Tapi, bisa jadi karena gurunya tak mampu mengorkestrasi kelas sebagaimana seharusnya. Jika ada siswa yang tak paham materi yang diajarkan guru, belum tentu karena siswanya kurang pintar dan sejenisnya. Boleh jadi lebih pada guru yang perlu memperbaiki cara mengajarnya.
Tentu tak hanya itu peran jamak guru. Masih banyak lagi.
Pernah kau mencoba menghitung banyak bintang di langit? Bisa? Kalau tak bisa. Kira-kira begitulah banyaknya tugas dan peran guru.
Karena banyak itulah, wajar jika guru disebut sebagai pahlawan peradaban. Inilah kelompok manusia yang akan pertama masuk surga, jika mereka ikhlas menjalankan tugasnya.
Aamiin
--
*Foto sebagai ilustrasi saja :-)



Like
Comment
Share